Random post

Wednesday, January 11, 2017

√ Aliran-Aliran Dalam Keluarga


Pada umumnya masyarakat memakai keluarga untuk menetapkan pola pemilihan pasangan, garis keturunan, warisan, dan wewenang yang dimilikinya (Henslin, 2006:117). Selanjutnya, pola relasi dalam dan antar anggota keluarga mempunyai konsekwensi dalam melahirkan sistem keluarga. Pola hubungan antara anak dengan ayahnya anak  atau ibunya anak merupakan tema besar dalam sistem keturunan (system of descent) yang kemudian menghasilkan tiga pola garis keturunan yang dianut pada masyarakat yaitu billateral system, patrilineal system, dan matrilineal system. Menurut Hanslin, bagi mereka yang mempunyai relasi baik dengan keluarga ayah dan keluarga ibu, akan menganut sistem bilateral. Namun mereka yang menentukan tidak bekerjasama dengan kerabat ibunya, terang mereka memiliih sistem patrilineal. Selanjutnya bagi mereka yang tidak mempunyai relasi dengan kerabat ayahnya, mereka tergolong dalam sistem matrilineal.

Setiap sistem keluarga cenderung mempunyai pranata-pranata unik dalam kesehariannya. Pranata-pranata unik itu sanggup dilihat pada pola pemilihan pasangan, garis keturunan, warisan, dan wewenang yang dimilikinya. Wewenang merupakan elemen yang berperan paling mayoritas dalam suatu keluarga. Tiap-tiap sistem keturunan mempunyai pola kewenangan yang berbeda, mulai dari bentuk patriarkhi, matriarkhi, hingga bentuk egaliter. Suatu sistem keluarga yang dikendalikan oleh laki-laki yang lebih mendominasi perempuan cenderung akan membentuk sistem patrilineal. Begitu sebaliknya, wewenang perempuan yang mendominasi laki-laki dalam urusan keluarga akan melahirkan sistem matrilineal. Selanjutnya suatu tatanan dalam keluarga, dimana perempuan dan laki-laki dalam wewenang setara, akan membentuk sistem egalitarian.

Teori utama patriarkhi (patriarchy), laki-laki yang mendominasi masyarakat menekankan konsekuensi sosial tertuju pada reproduksi insan (Lerner 1986; Friedl 1990; Henslin 2006:50). Pada awal sejarah manusia, rentang usia insan diyakini relatif singkat. Untuk itu dalam melipat-gandakan manusia, perempuan harus melahirkan banyak anak. Pada masyarakat yang menganut sistem patrialkhal, setiap keluarga cenderung berorientasi melahirkan anak sebanyak-banyaknya. Tujuan melahirkan banyak anak yaitu kalau anaknya ada yang meninggal, masih ada anaknya yang hidup hingga melanjutkan kehidupan nama besar orangtuanya. Apalagi secara kodratiah (bukan teknologi) hanya kaum perempuan yang bisa hamil, maka kiprah perempuan saat itu hanyalah hamil dan mengasuh anak hingga dewasa.

Perihal rentang usia insan yang relatif singkat, hal senada juga disampaikan Carey (2012) ihwal banyaknya anak pada keluarga Jawa di kurun 18. Menurut Carey, rentang usia insan relatif singkat dikarenakan gagalnya insan dalam menghindari penyakit mematikan. Namun dalam catatan Carey, tidak memasukkan bahaya mahluk buas, tragedi alam, dan tradisi bercocok tanam, menjadi penentu waktu hidup dikemudian. Dari beberapa literatur melaporkan, bahaya mahluk buas,  tragedi alam, dan tradisi bercocok tanam telah diyakini mempunyai imbas besar keberadaan insan di semesta alam.

Sistem patrilineal yang berorientasi keluarga luas ini kemudian melahirkan konsekwensi laki-laki bertugas berburu hewan sekaligus menuntaskan tugas-tugas besar biar keluarganya selamat (Huber, 1990 dalam Henslin 2006:50) dan meninggal dengan cara yang wajar. Pada ketika itulah laki-laki sebagai pengendali tumpukan kepemilikan sehingga laki-laki menjadi simbol kejayaan dan industri prestise (keistimewaan sosial) dan previlace (hak-hak sosial yang istimewa) yang kemudian melahirkan sebuah sistem sosial patrialkhal, dimana perempuan dipaksa tunduk menduduki kelas sosial kedua sehabis mahluk berjakun besar.

Dalam perkembangannya, laki-laki semakin berorientasi menjadi pemimpin kelompok besar. Besaran anggota kelompok yang dipimpin dan penguasaan wilayah tanpa batas, merupakan indikator kekuasaan politik patrilineal. Pada ketika itulah para perempuan mempunyai kiprah utama yaitu hamil, melahirkan, dan mengasuh belum dewasa hingga besar. Dengan demikian maka banyak anak yaitu sesuatu yang masuk akal. Pada ketika itulah keibuan merupakan status sosial yang perlahan diperhitungkan. Apalagi anak merupakan cikal bakal investasi ekonomi, dan juga anak telah dipandang sebagai berkat Tuhan. Pandangan inilah kemudian mengantarkan terbentukya sistem masyarakat matrilineal.

Babak selanjutnya yaitu kiprah perempuan semakin disadari sangat penting dalam dinamika sistem patrilineal. Semakin banyak anak yang dikandung seorang perempuan, semakin ia dipandang telah mencapai tujuan mengapa mereka dilahirkan (Henslin, 2006:189). Tentu saja ijab kabul lebih awal menjadi solusi paling wajar, alasannya yaitu lebih cepat menikah, maka akan lebih cepat menurunkan keturunan. Sejalan dengan ini, suatu pasangan harus mempunyai banyak anak. Dengan menghasilkan banyak anak, setiap orang telah menjadi cermin dari nilai-nilai komunitas yang mereka pegang dan meraih status. Pandangan inilah kemudian mengantarkan terbentukya sistem masyarakat matrilineal. Walaupun demikian, posisi perempuan yang mandul tetap tidak mempunyai kemuliaan. Karena di era awal sistem matrilineal masih diyakini bahwa kemandulan itu milik perempuan. Selain itu juga, hal fundamental yang mendongkrak kemuliaan perempuan yaitu kuantitas peranakan yang dihasilkan, dalam rangka mensuplai jumlah anggota kelompok yang sebanding lurus dengan wewenang penguasaan wilayah yang menjanjikan kemakmuran sosial.

Pada masyarakat yang menganut pola matrilineal, anak-anak merupakan investasi ekonomi. Anak-anak mulai menyumbangkan ekonomi dimulai semenjak usia dini. Bila orang bau tanah telah menjadi terlalu bau tanah untuk bekerja atau tidak mempunyai pekerjaan, belum dewasa mereka akan berganti mengurus mereka. Semakin banyak anak maka semakin besar dukungan yang akan mereka terima. Pandangan inilah yang kemudian sejajar dengan pandangan banyak anak banyak rejeki. Hal inilah yang kemudian mendorong alasan kenapa keluarga yang tidak bisa malah menghidupi banyak anak. Karena pada masa tuanya, ada jaminan tanggungan anak-anaknya kepada orang tuanya.

Selanjutnya, sistem keluarga berikutnya yaitu egaliter. Pada sistem ini, Hildred Geertz (1985) memberi pola betapa kuatnya peranan istri terutama dalam hal mengelola ekonomi. Suami dan isteri bahu-membahu dalam mengelola unit ekonomi. Mereka tidak hanya saling yang berurusan bukan saja dengan proses dan distribusi barang-barang konsumsi tetapi juga dengan produksi barang-barang atau jasa bagi pendapatan untuk keluarga dan kelompok. Keikutsertaan istri di segala segi perjuangan ekonomi menawarkan kepadanya kedudukan yang sama besar lengan berkuasa dengan suaminya.

Konsep keluarga egaliter itu kemudian merambah pada konsep pernikahan. Perkawinan kemudian dipandang sebagai suatu proses pertukaran antara hak dan kewajiban serta “Penghargaan dan Kehilangan” yang terjadi di antara sepasang suami istri  (Ihromi, 2004:137). Hal senada juga disampaikan Bernard (1972, dalam Santrock, 1995) bahwa tidak sekedar digambarkan sebagai bersatunya dua individu. Karena perkawinan merupakan proses integrasi dua individu yang memiliki latar belakang sosial-budaya, keinginan serta kebutuhan mereka yang berbeda (Parson, dalam Ihromi, 2004), maka proses pertukaran dalam perkawinan ini harus senantiasa dirundingkan serta disepakati bersama. Pernikahan merupakan persatuan dua sistem keluarga secara keseluruhan dan pembangunan sebuah sistem ketiga yang baru. Hal inilah yang mendorong beberapa ahli pernikahan dan keluarga percaya bahwa pernikahan telah mencerminkan fenomena yang berbeda-beda bagi perempuan dan laki-laki. Dengan demikian, masuk akal ketika pola ijab kabul dalam masyarakat berbeda, memisahkan pembahasan ketika mencerminkan antara pola pernikahan laki-laki dan ijab kabul pada perempuan.

Namun konsep perkawinan sebagai proses pertukaran ini, berbeda dengan konsep perkawinan kita. Pranata perkawinan kita hanya menekankan pertukaran pada dua insane insan saja. Hal ini sanggup dilihat pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1/1974, kepingan I, pasal 1 bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara “seorang laki-laki dengan seorang wanita” sebagai suami istri saja, bukan menekankan pada proses integrasi dua individu yang memiliki latar belakang sosial-budaya, keinginan serta kebutuhan mereka yang berbeda.

Konsekwensi dari konsep pranata perkawinan Nomor 1/1974, kepingan I, pasal 1 ini, terang hanya pada pencukupan kebutuhan kasih sayang saja. Sehingga keluarga tidak menjadi dimensi yang mempunyai kekuatan dalam mengitegrasikan bermacam-macam perbedaan yang ada. Secara konseptual, pranata perkawinan kita cenderung rentan terhadap problem sosial yang ada. Hal ini terbukti terjadi keinginan jauh api dari panggang ketika masa orde gres menaruh amalgamasi (perkawinan lintas etnis) menjadi kebijakan dalam negeri yang gagal untuk menuntaskan konflik pribumi dan non-pribumi kala itu.
 
Sumber Rujukan: 

Carey. 2013. Ramalan Penguasa (Jilid II). Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Geertz, Hildred. 1985. Keluarga Jawa. Jakarta. PT. Temprint.
Henslin, James M. 2006. Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi: Edisi 6. Penerj: Kamanto Sunarto. Jakarta: Erlangga.
Hurlock, E.B. 1999. Psikologi Perkembang: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (edisi kelima). Alih Bahasa: Istiwiyanti, Soedjarwo, Sijabat R.M. Jakarta: Erlangga
Ihromi, T. O. 2004. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor.
Santrock, John W. 2002. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Edisi 5. Jakarta: Erlangga.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1/1974, kepingan I, pasal 1 ihwal Konsep Pranata Perkawinan 

Sumber http://sosiologismpapamotan.blogspot.com