Ini kisah tanya dariku… pertanyaan mengenai siapa tuhanku, siapa tauladanku, dan apa agamaku?
Pagi itu hari pertama masuk sekolah. Aku Fikri murid gres Sekolah Menengan Atas Negeri 4 Berau. Sekolahku yaitu Sekolah Menengan Atas yang terbaik di kota kabupatenku. Aku beranggapan saya hanya sedang dihinggapi dewi fortuna ketika mengikuti tes masuk sekolah dahulu, tapi orang tak percaya dan terus meminta resep kepintaranku. Akhirnya kuputuskan untuk menyuruh mereka banyak-banyak mengerjakan soal, setidaknya itu yang kulakukan untuk meningkatkan instingku dalam menentukan satu diantara lima balasan (a,b,c,d,e). Pagi indah merona, dan burung-burung penghisap nektar beradu cepat dengan datangnya lebah kembang. Aku sudah sibuk dengan baju baruku, menyambut sarapan yummy hasil kelincahan jemari ibuku di wajan mungilnya.
“Dek ayo cepetan! sudah telat ini!” Kakak sudah berpakaian rapi dan bersepatu.
“Bentar.. gak tau apa masakannya umi keterlaluan enaknya” sahutku asal.
“Pokoknya cepetan! atau ku tinggal!” sambil memutar-mutar kunci motor beserta gantungannya
Yang diancam mulutnya masih penuh dengan udang goreng.”Ya..ya.. sudah siap ini!!”
Aku eksklusif saja menyambar kaus kaki baru, dasi baru, dan sepatuku yang sama sekali tidak baru. “Pikirin.. Pokoknya asal masih bisa nempel di kaki ini ku pakai aja” begitu pikirku. Aku satu sekolah dengan kakaku sehingga kami(khususnya aku) terpaksa berangkat bersama. Kharisma 125D warna hitam telah siap menemani perjalananku menuntut ilmu. Sekolah kami terlalu jauh untuk di kayuh dengan sepeda, sehingga kami memakai kendaraan bermotor walaupun saya belum mempunyai SIM C.
Inilah salah satu Istimewa ability yang hanya dimiliki oleh bocah berbakat sepertiku. Ketika memarkirkan motor maka bel masuk sekolah berbunyi. Ini memerlukan kemampuan khusus, kombinasi ketepatan waktu dan kecepatan motor, ditambah lagi ada faktor-faktor tak terduga menyerupai lampu merah. Tentulah saya spesies terakhir yang gres hadir di kelas. Dengan tampang paling (sok)baik saya coba memasuki kelas, namun tak ada yang memberiku senyuman sedikitpun. Mungkin sebab saya gagal menyembunyikan hawa jahat yang memancar dari tubuhku. Aku menunggu guru mata pelajaran yang ternyata berbaik hati memberi kami waktu berkenalan. Semua orang sudah asik dengan percakapannya, sedangkan saya masih santai di pojok ruangan, di dingklik kayu dengan pandangan ke arah jendela kelas.
Setelah beberapa menit mungkin mereka telah bisa mentolerir hawa jahatku, beberapa anak menghampiriku.
“Fikri yahh?” Sambil menyodorkan tangannya.
“Ya, kok saya udah terkenal yahh?” bukannya GR, tapi beberapa anak mungkin telah mengetahui namaku, sebab reputasiku yang “sangat baik” ketika saya mendapat honorable mention dilanjutkan dengan penghargaan push up di depan lapangan ketika MOS kemarin.
Anak itu tersenyum “Terlampir terang di dada kananmu” jawabnya, yang diiringi gelak tawa kami bersama.
Setelah perkenalan singkat itu saya gres tahu, bahwa sang pemilik senyum pepsoden itu berjulukan Putra, sedangkan dua orang yang bersamanya Ardi si pemilik kulit hitam, dan Arif si insan bermata empat.
Aku mengikuti keadaan dengan percakapan mereka, yahh.. bisa ditebak anak gres terang membicarakan masa-masa SMP-nya, serta kebodohan-kebodohan kecil yang mereka banggakan. beberapa ketika mataku tertarik pada seorang wanita, Ia yang berkerudung hingga menutupi segenap auratnya. saya bukan melihat pada kostum yang ia gunakan, apa lagi wajahnya. tapu apa yang ia lakukan. Di tengah-tengah keramaian kelas oleh bunyi pedagang-pedangang asongan yang lepas kendali, Ia mngarahkan matanya pada sebuah kitab kecil, dan melantunkan suara-suara indah penuh kedamaian. Perempuan itu membaca Ayat-ayat tuhanNya.
“Itu Alifah, Anak MTQ , ketika di tsanawiyah ia salah satu yang paling berilmu di kelas.” Arif memotong pembicaraan yang sedari tadi sudah ku cuekin.
“Dulunya sekelasmu yahh Rif?” Ardi menyudahi ceritanya, ceritanya ihwal SMPnya yang di pedalaman hutan bersama suku-suku pribumi (baca : dayak)
“Iya. tiga tahun kami sekelas, dan ia tetep paling pinter” Arif membetulkan beling matanya yan tidak longgar
“Wahh Alim beneran tuhh… hingga bawa Al-Qur’an dikelas” Putra bergabung dalam topik ini, senyumnya teap berseri
“Lihat aj, paling hanya sehari dua hari aja alimnya keliahatan” komentar Ardi sinis
“Shodakallahhal adzim.” Ku baca gerak bibir perempuan itu.
Kulihat tak seorangpun menyodorkan tangan padanya demi berkenalan ataupun mengobrol sekata, dua kata dan tak seorangpun mendekatinya dengan senyuman terkembang.
***
Demi melihat insiden itu, saya teringat insiden di masa laluku, saya besar di kondisi keluarga yang sangat memperhatikan keagamaanku, akhirnya saya disekolahkan di MI, kalian tahu itu? yahh..Madrasah Ibtidaiyyah. Aku menjadi anak dengan dasar keagamaan yang baik, namun itu hanya bertahan hingga ketika saya memasuki SMP. Pagi itu kusaksikan aneka macam kesia-siaan yang dilakukan semua sahabat baruku di kelas, saya duduk di pinggir pojok kepingan terdepan dan hannya melaksanakan yang biasa kulakukan di MI dahulu, Aku mengulang hafalanku. hingga sehari penuh tak ada satupun guru yang masuk, mungkin sebab ini yaitu pertemuan pertama, tetapi yang asing yaitu saya tak mendapat satu nama pun dari sahabat sekelasku, tak ada yang mengajakku berbicara sekalipun. Aku sadar menjadi anak yang terlalu beragama itu sudah menjadi najis bagi lingkunganku, ketika saya tertangkap berair sholat maka tak terhitung yang mencercaku, ketika saya mengaji beberapa anak kan membicarakannya tak henti-henti bagaikan saya telah mencuri dompet sahabat sekelasku.
***
Ketika kelas dua Sekolah Menengah Pertama saya merubah segala perangaiku. saya sholat hanya untuk menggugurkan janjiku pada Abi(baca : bapak). mengajipun hanya sesedikit mungkin, hanya sekedar semoga Abi tahu jika saya masih islam. yahh.. Sekarang saya masuk dalam dunia yang menyenangkan. Aku punya banyak teman, mereka akan terus membantuku bahkan akan membelaku ketika saya di pukul sekalipun. yahh.. Inilah diriku, saya yang populer, saya yang gaul, dan saya yang menjadi pemimpin.
***
Tak henti kuperhatikan perempuan berjilbab itu. Ahh…. iya, Alifah namanya.
Kuperhatikan hingga kini, tak seorangpun yang menyapanya. Aku yang telah mencicipi insiden yang sama hanya tersenyum sinis,
“Kapok!! siapa suruh jadi orang sok alim? Kau Rasakan itu!! Itu ganjaran bagi ornag-orang yang baik.” Entah atas dasar apa saya menyumpahinya,
Kemudian kusaksikan Ia tersenyum manis, dan menyapa seseorang disampingnya
“Hai, Namaku Alifah.” seraya menyodorkan tangannya
Ohh.. Kini tertunduk aku, aib menyesali luka diri, tak pernah berusaha namun ingin setiap orang mengenalku. Sungguh betapa hinanya aku, menyalahkan agamaku hanya sebab sifat pengecutku.
***
بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasing.” (HR.Muslim , 208).
‘Mereka yaitu orang-orang yang melaksanakan perbaikan ketika orang-orang mulai melaksanakan kerusakan.” (HR. Ath-Thabrani).
Beruntunglah orang yang melihat saya dan beriman kepadaku ( Rosululloh mengucapkan sekali). Beruntunglah orang yang tidak melihat saya akan tetapi beriman kepadaku ( Rosululloh mengucapkan tujuh kali).”
Malang, ditemani bang Fadli..
Sumber https://mystupidtheory.com