Belakangan saya banyak mengikuti The Daily Show yang dipresenteri oleh Trevor Noah, salah satu pelawak favoritku. Kalau sebelumnya, sekitar tahun 2013-an saya tergila-gila pada komedi politik ala George Carlin yang begitu skeptis bahwa politik ialah terbelakang dan kebodohan, maka pendekatan komedi Trevor Noah berbeda, ia punya pandangan dan gaya tersendiri dalam mengupas sebuah isu politik sehingga lucu.
Ini yang mendasari saya jadi ingin posting berdasar dari perpolitikan tanah air. Yap! Terkait mahasiswa kampus populer yang melaksanakan aksinya di depan Presiden!
Kritik Kaum Terpelajar Kepada Penguasa

Karena yang melaksanakan agresi ialah mahasiswa, maka kita masukkan ke dalam kategori kaum terpelajar. Ada yang pernah membaca buku-buku Albert Camus, Franz Kafka, ataupun yang populer To Kill a Mockingbird dari Harper Lee? Yap! Sama saya juga belum pernah baca. XD
Jadi gini, jika berbicara kaum cerdik di masa lalu, kritik yang disampaikan ke penguasa biasanya berupa prosa, puisi, novel satire, alegori, ataupun agresi teatrikal. Nama-nama penulis yang saya sebutkan sebelumnya ialah orang-orang yang memberikan kritiknya dalam bentuk buku novel. Oleh sebab itulah novel mereka bermakna dalam, dikenal, dan menjadi sangat fenomenal dan dibaca jutaan orang bahkan hingga dikala ini.
Penguasa Yang Otoriter
Sebab mengapa kritik terhadap pemerintahan itu dimunculkan dalam bentuk karya sastra ialah untuk menyembunyikan atau mengaburkan unsur kritiknya. Kita kan tahu sendiri jika zaman dulu itu pemerintahannya banyak yang otoriter, apalagi yang bentuknya kerajaan.
Lalu sehabis mengaburkan maknanya ini, apakah berarti dari penguasa yang diktatorial dan pihak kerajaan tidak ada yang paham? Oh.. Justeru mungkin mereka ialah orang-orang yang pertama paham bahwa karya sastra ini ialah sindiran dan kritikan. Sebab kalangan kerajaan dan penguasa diktatorial di masa lampau itu ialah para pemikir dan cendikiawan.
Kalangan kerajaan sudah mendapat pelajaran mengenai kehidupan, filsafat, retorika dan kepemimpinan di usia yang sangat dini. Mereka mendapat pendidikan politik dan sastra yang jauh lebih tinggi dari kalangan rakyat jelata, terperinci saja akan memahami satire ataupun prosa kritik dari para kaum cerdik secara langsung.
Tetapi, walaupun mereka paham karya-karya sastra ini ialah kritikan dan sindiran, namun tentu saja sulit untuk bisa membuktikannya di depan aturan bahwa karyanya merupakan sindiran untuk pemerintah. Lagi pula tak akan banyak rakyat yang mengerti kritiknya, jadi bebaslah kaum terpelajar.
Beberapa kritik dalam bentuk karya yang muncul dari kaum cerdik ini juga menjadi pelajaran berharga untuk kalangan pemegang kekuasaan(yang bijak).
Baca Juga: Ramalan Ibnu Khaldun Tentang Micin
Kartu Kuning Untuk Presiden
Lalu pada 2018 ini kita dipertontonkan agresi simbolik seorang yang cerdik untuk memberikan kritikan terhadap penguasa. Seorang mahasiswa Universitas Ini meniup peluit dan memperlihatkan kartu kuning kepada Presiden. Kejadian ini tentu saja membuat pengawal presiden menggiringnya untuk ditanya-tanya.
Hanya dengan beberapa gerakan simbolis ini saja, mahasiswa bisa memberikan pesannya. Semua orang tahu jika kartu kuning ialah peringatan. Dari rakyat jelata hingga para penguasa semua tahu jika tafsir dari kartu kuning ialah peringatan. Ini sebab semua orang menikmati olah raga, sehingga pengetahuan ihwal kartu kuning ini tidak multitafsir, terperinci bahkan sangat jelas, ini peringatan!
Mahasiswa Telah Menghina Presiden
Well.. Sekelas Universitas Ini, maka nggak mungkin donk kaum terpelajarnya tak bisa membuat karya berupa puisi, prosa ataupun agresi teatrikal yang bisa ditampilkan di hadapan penguasa? Pasti bisa! Seindonesia raya juga tahu seberapa superiornya mahasiswa yang masuk Universitas Ini!
Mengingat dalam insiden ini Presiden ialah tamu, maka sangat pantas untuk dihibur dengan pertunjukan puisi, prosa maupun agresi teatrikal (Yang bisa saja satire atau sindiran). Namun ini tidak dilakukan. Kenapa tidak dibentuk menjadi penampilan karya yang satire ataupun sindirian?
Emm.. Entahlah.. Apakah menganggap jika Penguasa-nya nggak bakalan ngerti jika kritiknya dibentuk sastra klasik khas zaman dulu? Kalau begini kasusnya, ini sih menghina!
Ehh.. Tapi mengingat ini masa demokrasi, dimana penguasanya dipilih oleh rakyat dan bukan hanya kalangan kerajaan (yang telah dididik retorika dan sastra semenjak kecil), maka sangat mungkin jika ada penguasa nggak paham sastra.
Demokrasi Membuat Sastra Menjadi Tumpul
Ini yang menarik! Seperti yang saya bilang sebelumnya, bahwa perkembangan sastra dan dalamnya makna sebuah karya sastra di masa lampau itu dipicu oleh penguasa yang otoriter.
Jadi penulis di masa lampau membuat yang namanya alegori, metafora, satire dan ironi untuk melembutkan pesannya. Karena jika pesannya terperinci dan kasar, sudah niscaya akan ditangkap, dihakimi, ataupun digantung oleh penguasa.
Tapi dikala ini ialah masa demokrasi. Artinya, ada kebebasan mengungkapkan pendapat dan ini dilindungi oleh hukum. (Kecuali aturan dikontrol penguasa). Kaprikornus tulisan, pidato dan perkataan yang vulgar ketika mengkritisi penguasa, tidak akan menjadikan tiang gantungan.
Kembali lagi melihat ke The Daily Show yang saya tonton belakangan ini, di sana setiap harinya Trevor Noah mengkritisi, menertawakan dan mendungu-kan Si Trump, presidennya. Tetapi sebab USA ialah negara demokrasi, maka kebebasan memberikan pendapatnya dilindungi oleh hukum.
Pun penampilan kartu kuning di depang penguasa tidak akan mengakibatkan tembak mati di tempat. Karena ini demokrasi bung! Artinya, nggak perlu lagi berpuisi dengan rima, berteatrikal menangis-nangis, merangkai prosa yang dalam, tak perlu! Cukup sampaikan dengan langsung, jelas, bahkan jika perlu dengan sarkasme sekalipun. Satu tiupan peluit dan gerakan tegas kolam wasit! Seluruh Indonesia paham maknanya!
Baca Juga: Mahasiswa Harus Belajar Menulis
Benar Atau Salah?
Wahh.. Mungkin sih buat para pelaku sastra, cendikiawan dan orang-orang berpendidikan lebih, cara dengan kartu kuning ini tidak etis, tidak cerdas, dan menghina sekali. Bisa saja itu benar.
Kalau menurutku pribadi benar ataupun salah tergantung pada beling mata yang digunakan.
Karena saya ialah blogger, maka dalam dunia media, internet dan blogging, kartu kuning ini ialah tindakan yang sempurna sebab seluruh pesannya jadi didengarkan jutaan orang hanya dalam waktu sehari. Tak hanya hingga ke Presiden, tapi juga semua pemegang kekuasaan, dan rakyat Indonesia.
Well.. Kalau mau dibandingkan dengan buku-buku karya Albert Camus, Franz Kafka ataupun Harper Lee dari sisi estetika dan etika, maka yang dilakukan mahasiswa Universitas Ini terperinci kalah jauh sebab terlalu vulgar. Namun mengingat ini ialah masa digital, dimana kita bisa menilai dari jangkauan pesannya, maka kartu kuning menjadi sangat tepat.
Berapa tahun hingga pesan yang ingin disampaikan oleh para penulis populer dunia itu mencapai 10juta orang? Si Mahasiswa Universitas Ini berhasil menjangkaunya hanya dalam waktu kurang dari seminggu.
Yah begitulah jika mau benar salah terus yang dipikirkan. Setiap tindakan bisa jadi salah terus jika yang dicari ialah kesalahannya. Dan semuanya menjadi benar ketika yang dicari pembenaran.
Buatku sih baik dari pemerintah diktatorial ataupun demokrasi, prosa ataupun kartu kuning, semua punya sisi kasatmata dan negatif yang bisa kita pelajari.
Thanks dah mau baca goresan pena randomku. XD
Yuk… Lanjutkan diskusi di komentar.
Sumber https://mystupidtheory.com