Random post

Wednesday, August 15, 2018

√ Toleransi Level 100%

Setiap minggunya di laboraturiumku ada presentasi riset oleh anggota lab, baik itu mahasiswa, staf juga professor. Salah satu pembahasan yang menarik saya dapatkan beberapa waktu lalu, ialah dari Associate Professor di lab-ku, dia memberikan perihal teknik memilih struktur kristal yang terbentuk sehabis terjadinya reaksi.


Oh ya, aku bekerja di Lab. Kimia Komputasi, khususnya simulasi molekul. Setelah melaksanakan simulasi molekul kami harus menganalisa hasil yang diperoleh dari simulasi yang telah berjalan. Nah salah satu interpretasi/analisa yang penting dalam simulasi padatan ialah perihal struktur kristal yang diperoleh.


Teknik yang dipakai oleh Associate Professorku ini ialah dengan mencoba memilih rujukan yang ada pada struktur kristal menurut posisi setiap molekul. Namun alasannya ialah ini ialah gerakan dari ratusan ataupun ribuan molekul maka sering sekali posisinya tidak benar-benar sempurna dan seragam. Untuk itulah dalam penentuan struktur kristal ini dibutuhkan sebuah batas toleransi, sehingga jikalau poisisi meleset beberapa Angstrom (0.1 nanometer) maka struktur kristal akan tetap sanggup ditentukan polanya.


Dalam presentasi ini kami diskusi singkat bagaimana penentuan batas toleransi tersebut. Karena jikalau kita memakai batas toleransi yang terlalu kecil maka analisa struktur kristal tidak sanggup dilakukan alasannya ialah gerakan setiap molekul niscaya ada yang meleset beberapa Angstrom tadi. Sedangkan jikalau kita menerapkan toleransi yang terlalu besar maka posisi molekul yang awut-awutan sekalipun akan dianggap sebagai struktur kristal, ini berakibat kita tak sanggup menginterpretasikan struktur kristal tersebut.


 


Batas Toleransi


Konsep ini sesungguhnya bukan pertama kalinya saya dengar dikala di sini, dalam dunia penelitian eksperiment konsep batas toleransi atau “tolerance level” ini sudah sangat umum digunakan. Jika sebuah penelitian diulang beberapa kali dengan metode dan kondisi yang sama, maka hasil yang diperoleh akan hampir sama (presisi), namun tidak benar-benar sama, pada point inilah kita harus memaklumi perbedaan kecil ini dengan batas toleransi.


Jika dalam sebuah eksperiment kita menemukan perbedaan yang sangat jauh antar data, maka tidak lagi ada gunanya batas toleransi ini, alasannya ialah yang kita perlukan ialah mengulangi eksperiment tersebut ataupun mendefinisikan ulang hasil yang kita peroleh.


 


Prinsip dan Identitas Diri


Membahas perihal ini mengingatkanku kembali pada diskusi dengan guru Bahasa Jepangku, Sakai-sensei, kami pernah berdiskusi mengenai definisi toleransi dalam perspektif masyarakat Jepang.


Aku memulai diskusi dengan pertanyaan “Jika ada sahabat orang Jepang mengadakan sebuah pesta, kemudian saya diundang untuk tiba dan ternyata tidak disiapkan masakan Halal, apa hal terbaik yang sanggup saya lakukan?”.


Menariknya, yang pertama dipertimbangkan sensei ialah prinsip sebagai muslim. Aku jelaskan sekilas bahwa memakan masakan non-halal (haram) akan menyisakan ruang ketidak nyamanan bagi setiap muslim beriman, hati menjadi tidak tenang dan selalu was-was. Perkara halal-haram masakan ini merupakan prinsip yang fundamental bagi seorang muslim, sehingga mengetahui masakan yang haram kemudian masih saja memakannya ialah melanggar prinsip. Seperti hal-nya berkata bohong bagi orang Jepang, walaupun tak ada yang tahu tetapi perasaan kita jadi tidak tenang.


Nah.. Menanggapi hal ini Sensei menyampaikan ada tiga opsi:



  1. Yang terbaik ialah kau bilang saja terlebih dahulu di awal dikala di undang, kalau hanya makan masakan halal, dan jelaskan kondisimu sebagai muslim. Tuan rumah yang baik akan sanggup menjamu tamunya dengan baik.

  2. Kamu tiba dan makan saja masakan yang halal ibarat sayuran, ikan dan yang nonalkohol sambil kemudian menjelaskan kondisi sebagai muslim. Orang yang mengerti bermasyarakat harusnya sanggup memahami hal ini.

  3. Kalau memang dia tidak suka dengan prinsip masakan halal-haram yang kau miliki sebagai muslim, maka yah sudah, tinggalkan saja. Jangan buat perasaanmu kacau hanya alasannya ialah ingin menyenangkan orang lain.


Jadi opsi untuk “makan aja sedikit kan nggak papa demi menyenangkan tuan rumah” itu tidak ada. Tidak bersahabat dengan seseorang yang secara prinsip jauh berbeda dengan kita, itu hal yang wajar, biasa dan boleh-boleh  untuk dilakukan. Jangan kemudian lupa pada prinsip dan identitas diri sendiri hanya semoga dibilang toleransi dan diterima orang lain.


 


Bertoleransi yang 100%


Nampaknya bertoleransi yang 100% ialah berlawanan dari penggunaan toleransi itu sendiri. Toleransi di Indonesia seharusnya dipakai untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan kecil, bukan sebuah perbedaan yang sangat besar. Sama ibarat dalam penelitian ilmiah, tidak ada maknanya semua data eksperiment kalau kita pakai tolerance level-nya 100%.


Jangan di kemudian hari kita ketemu pemabuk, kemudian dia undang kita mabuk-mabukan, kemudian kita terima saja undangannya dengan dalih toleransi, ini salah total. Di undang ke program keagamaan agama-agama lain sementara kepercayaan kita berbeda, ini sanggup saja menciptakan perasaan kita tak nyaman, pada posisi ini kita masuk akal saja menolak. Dan jangan dibilang anti-toleransi.


Aku beberapa kali di ajak ke kuil shinto, nah saya tiba dengan niat wisata, sesampainya di kuil temanku ngajakin lempar koin, disitu saya ngerasa nggak nyaman, alhasil saya bilang, saya ga mau ikutan, dia bilang ini koinnya nanti saya kasih, saya ketawa aja pas itu, kemudian menjelaskan alasanku bukan problem uang koinnya. Sampai kini saya masih sering di ajakin jalan-jalan sama dia, tak ada problem berarti alasannya ialah dia sanggup memahami hal ini.


Jadi toleransi itu dihentikan kebablasan, jangankan 100%, lebih dari 5% saja bisa-bisa seluruh data penelitian kita nggak ada maknanya kok. Harus sempurna dan ditempatkan dengan proporsional. Perbedaan-perbedaan kecil yang ada sanggup kita hilangkan demi kenyamanan bersama, itu makna toleransi di Indonesia buatku.


Perbedaan untuk hal-hal yang besar dan fundamental berkaitan dengan prinsip maka tak perlu ditoleransi alasannya ialah malah menciptakan kita nggak nyaman nantinya.


Belajar dari Sensei-ku maka untuk sanggup bertoleransi di manapun, pertama kita harus mengenali identitas diri kita, hal-hal apa yang menjadi prinsip dalam hidup kita. Jangan hingga kita terombang-ambing nggak terang hanya alasannya ialah ingin dibilang toleran.


Thanks for reading!



Sumber https://mystupidtheory.com