Belakangan ini aku kurang aktif di sosial media, hanya beberapa kali buka FB, bahkan beberapa message ada yang gres saja saya balas. Namun walaupun tidak begitu aktif, saya terus memantau dan melihat apa yang sedang terjadi dan berkembang di dunia maya. Menjadi seorang blogger, berarti berkecimpung dan menyadari ada apa di dunia maya. Agaknya, memang harus mirip itu. Dan kali ini saya mau bahas tetangn penyakit kronis bersosial media.
Jika kalian termasuk yang sedang tergila-gila bahkan sedang senang-senangnya menggenggam smartphone demi mengomentari status-status teman, share goresan pena demi goresan pena dari orang-orang terkenal, ada baiknya rehat beberapa menit sembari membaca tulisanku ini.
Penyakit Kronis Bersosial Media
Aku sengaja menuliskan kata “kronis” pada judul di goresan pena ini, dan menurutku itu tidak berlebihan.
Sosial media bagiamanapun telah menjadi salah satu alur informasi dalam keseharian kita, menyerupai keran air dari PDAM yang sehari-harinya kita minum, bahkan mungkin lebih fundamental dari itu, sebab kita sanggup membawa keran ini ke manapun, dan meminum informasi kapanpun. Kaprikornus sosial media pastinya telah mempengaruhi referensi pikir dan cara kita merespon sesuatu.
Yang awalnya kita memakai untuk sekedar bertukar sapa, saling mendukung dan berkomentar terhadap sesama teman, kini menjelma ajang langgar kepintaran, debat pendapat, dan corong yang massive untuk menyebarnya HOAX. Ini menjadi penyakit kronis yang masuk ke dalam referensi pikir kita. Inilah beberapa penyakit yang akhir-akhir ini marak di FB:
Semangat Berkomentar
Di lembaga sangat aktif, di friendlist juga aktif, gosip muncul eksklusif disambar, semangat sekali berkomentar. Belakangan saya melihat aneka macam spesies semacam ini. Seolah-olah kalau tidak berkomentar hidupnya akan kosong, waktunya berlalu tanpa makna. Padahal sejatinya, sehari penuh tanpa berkomentar di sosial media, itu yakni hal yang masuk akal dan memang normal.
Sesekali sebelum menyambar sebuah postingan dengan komentar, cobalah pikirkan kembali;
- “Apa emang ada orang yang butuh komentar mirip ini?”
- “Apakah ada yang baca?”
Kalau komentar kita nggak berdampak ke orang lain, mendingan nggak usah komentar. Apalagi kalau komentar kita sangat tidak penting sehingga tak ada yang baca, mending investasikan waktu untuk hal yang lain.
Berkomentar untuk terlihat keren, gaul, cerdas itu tolong-menolong sangat tidak perlu. Karena orang cerdas itu menulis, bukan berkomentar. 😛
Haus Konspirasi
Salah satu dampak yang cantik akan adanya sosial media ialah meningkatnya jumlah orang yang mau membaca. Walaupun ini tidak akan termasuk dalam hitungan indeks baca nasional (karena harus berupa buku), tetapi nafas konkret untuk dunia literasi sudah muncul.
Akan tetapi celakanya ialah, orang-orang lebih suka membaca hal-hal yang sifatnya konspirasi. Konspirasi ini tak terang asal permintaan sumbernya, tak terang landasan dan buktinya. Tetapi dengan kepiawaian penulisnya atau penuturnya, jadi seakan-akan benar.
Celakanya banyak yang memposisikan konspirasi ini sebagai “pengetahuan” yang lebih benar dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Seperti yang sebelumnya sudah saya bahas ihwal teori konspirasi bumi datar, hingga kini masih saja banyak yang mempercayainya.
Belakangan ini selain bumi datar, semakin banyak yang dianggap juga sebagai konspirasi di sosial media, ini misalnya:
- Vaksin
- Garam beryodium
- Bahaya rokok bagi kesehatan
- Satelit
- Majapahit Kerajaan Islam
- Borobudur merupakan buatan Nabi Sulaiman (populer 2013-an)
Permasalahannya ialah orang-orang di kurun internet ini ingin sekali menjadi berbeda dengan orang lain. Mencoba terlihat cerdas dengan referensi pikir yang berbeda apapun bentuknya. Padahal orang-orang mirip ini seringkali malah tidak memahami fakta-fakta atau ilmu-ilmu dasar.
Hobi Sebar HOAX
Di sosial media, kita sanggup share sebuah gambar yang indah, humor singkat, ataupun goresan pena ringan yang mencerahkan. Tetapi herannya orang-orang malah sibuk membagikan gosip HOAX, data fiksi dan opini ngawur yang disebutnya sebagai “analisis”.
Ketika selesai membaca sebuah tulisan, pikirkan jernih-jernih dulu apakah gosip ini benar? Apa datanya masuk akal? dan apakah analisanya logis? Setelah itu pikirkan lagi kalau share goresan pena ini, apakah menawarkan manfaat bagi orang lain?
Di timelineku sehari-harinya mungkin ada lebih dari dua HOAX yang terlewat. Kalau ada waktu saya niscaya tegur, tapi seringkali saya lewatkan saja. Sudah muak!
Setiap kita diberi nalar pikiran untuk memproses informasi. Tetapi memang tak banyak yang memproses informasi dengan metode yang benar. Seolah-olah pendidikan puluhan tahun tak ada bekasnya sedikitpun saat sudah berhadapan dengan sosial media. Mati nalar pikirnya, eksklusif saja main klik tombol share.
Thank you for reading.
Sumber https://mystupidtheory.com