Random post

Thursday, September 7, 2017

√ Penggalan Ii : Konsep Jiwa (Perilaku Kekerasan)


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Konsep Dasar Perilaku Kekerasan
1.      Definisi
a.      Perilaku kekerasan yaitu suatu keadaan dimana seseorang melaksanakan tindakan yang sanggup membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. (Stuart dan Sunden, 1995) dalam Kumpulan bahan keperawatan jiwa RSJ Provinsi Jawa Barat 2010.
b.      Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk sikap yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. (Berkowtz, 1993) dalam Kumpulan bahan keperawatan jiwa RSJ Provinsi Jawa Barat 2010.
c.       Kekerasan Terhadap anak
Secara teoritis, kekerasan terhadap anak (Child Abuse) sanggup didefinisikan sebagai kejadian pelukaan fisik, mental, atau secual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman tehadap kesehatan dan kesejahteraan anak. Contoh paling terang dari tindak kekerasan yang dialami belum dewasa adalah pemukulan atau penyerangan secara fisik berkali-kali hingga terjadi luka gesekan (srapes/scrathes). Namun demikian, perlu didasari bahwa Child Abuse sebetulnya tidak hanya berupa pemukulan atau penyerangan secara fisik, melainkan juga bisa berupa banyak sekali bentuk eksploitasi melalui misalnya p0rn*grafi atau penyerangan secual (secual as-sault), pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi (malnutrion), pengabaian pendidikan dan kesehatan (education and medical neglet) dan kekerasan yang berkaitan dengan medis (medical abuse ). Gelles, 1985 dalam Suyanto (Masalah sosialisasi anak 2010:28).
2.      Jenis dan Kekerasan  yang di lakukan orang renta terhadap anak           
Dari pembagian terstruktur mengenai yang dilakukan para ahli, tindakan kekerasan atau pelanggaran terhadap anak tersebut sanggup terwujud setidaknya dalam dua bentuk. Suyanto, dalam Masalah sosialisasi anak ( 2010:29)
a.       Kekerasan fisik.
Bentuk ini paling gampang dikenali. Terkategorisasi sebagai kekerasan jenis ini adalah : menampar, menendang, memukul/meninju, mencekik, mendorong, menggigit, membenturkan, mengancam dengan benda tajam dan sebagainya. Korban  kekerasan jenis ini biasanya tampak secara eksklusif pada fisik korban seperti : luka memar, berdarah, patah tulang, pingsan, dan bentuk lain yang kondisinya lebih berat.
b.      Kekerasan psikis.
Kekerasan jenis ini tidak begitu gampang dikenali. Akibat yang dirasakan oleh korban tidak menawarkan bekas yang nampak terang bagi orang lain. Dampak kekerasan jenis ini akan besar lengan berkuasa pada situasi perasaan tidak kondusif dan nyaman, menurunnya harga diri serta martabat korban. Wujud kasatmata kekerasan atau pelanggaran jenis ini adalah : penggunaan kata-kata kasar, penyalahgunaan kepercayaan, mempermalukan orang di depan orang lain atau di depan umum, melontarkan ancaman dengan kata-kata, dan sebagainya. Akibat adanya sikap tersebut biasanya korban akan merasa rendah diri, minder, merasa tidak berharga, dan lemah dalam membuat keputusan (decision making).
3.      Faktor Terjadinya Perilaku Kekerasan Terhadap Anak
Menurut Lestari Basoeki, 1999 dalam Suyanto (2010:32), beberapa faktor penyebab yang terjadi penganiayaan anak dan penelantaran anak :
a. Orang renta yang dahulu dibesarkan dengan kekerasan cenderung meneruskan  pendidikan tersebut kepada anak-anaknya.
b. Kehidupan yang ibarat terlalu padat kemiskinan, sering berkaitan dengan tingkah laris agresif, dan mengakibatkan terjadinya penganiayaan fisik terhadap anak.
c. Isolasi sosial, tidak adanya pertolongan yang cukup dari lingkungan sekitar, tekanan sosial tanggapan situasi krisis ekonomi, tidak bekerja dan kasus perumahan akan meningkatkan kerentanan keluarga yang akhirnya akan terjadinya penganiayaan dan penelantaran anak.
Menurut seorang pemerhati kasus anak  Fatimah, (1992) dalam Suyanto (2010:33) mengungkapknan terdapat 5 kondisi yang menjadi faktor pendorong atau penyebab terjadinya kekerasan atau pelanggaran dalam keluarga yang dilakukan terhadap anak :


a.       Faktor ekonomi.
Kemiskinan yang dihadapi sebuah keluarga sering kali membawa keluarga tersebut pada situasi kekecewaan yang pada gilirannya menjadikan kekerasan. Hal ini biasanya terjadi pada keluarga dengan anggota yang sangat besar. Problematika finansial keluarga yang memprihatinkan atau kondisi keterbatasan ekonomi sanggup membuat banyak sekali macam kasus baik dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, pendidikan, kesehatan, pembelian pakaian, pembayaran sewa rumah yang kesemuanya relatif sanggup mensugesti jiwa dan tekanan yang sering kali akhirnya dilampiaskan terhadap anak-anak.
b.      Masalah keluarga.
Hal ini lebih mengacu pada situasi keluarga khususnya kekerabatan orang renta yang kurang harmonis. Seorang ayah akan sanggup melaksanakan kekerasan terhadap anak-anaknya semata-mata sebagai pelampiasan atau upaya untuk pelepasan rasa jengkel dan amarahnya terhadap istri. Sikap orang renta yang tidak melukai anak-anak, pemarah dan tidak bisa mengendalikan emosi juga sanggup mengakibatkan terjadinya kekerasan pada anak-anak. Bagi para orang renta yang mempunyai anak yang bermasalah seperti : cacat fisik atau mental (idiot) acap kali kurang sanggup mengendalikan kesabarannya sewaktu menjaga atau mengasuh belum dewasa mereka, sehingga mereka juga merasa terbebani atas kehadiran belum dewasa tersebut dan tidak jarang orang renta menjadi kecewa dan merasa frustasi.

c.       Faktor perceraian.
Perceraian sanggup menjadikan problematika kerumah tanggaan ibarat kasus hak pemeliharaan anak, pemberian kasih sayang, pemberian nafkah dan lain sebagainya. Akibat perceraian juga akan dirasakan oleh belum dewasa terutama ketika orang renta mereka menikah lagi dan anak harus dirawat oleh ibu atau ayah tirinya. Dalam banyak kasus tindakan kekerasan tidak jarang dilakukan oleh pihak ayah atau ibu tiri tersebut.
d. Menyangkut permasalahan jiwa atau psikikologis.
Dalam banyak sekali kajian psikologis disebutkan bahwa orang renta yang melaksanakan tindakan kekerasan atau penganiayaan terhadap belum dewasa yaitu mereka yang mempunyai problem psikologis. Mereka senantiasa berada dalam situasi kecemasan (anxiety) dan tertekan tanggapan mengalami depresi atau setres. Secara tipologis ciri-ciri psikologis yang menandai situasi tersebut anatara lain : adanya perasaan rendah diri, keinginan terhadap anak yang tidak realistis, keinginan yang bertolak belakang dengan kondisinya dan kurangnya pengetahuan perihal bagaimana cara mengasuh anak yang baik.
e. Faktor terjadinya kekerasan atau pelanggaran terhadap hak-hak anak yaitu tidak dimilikinya pendidikan atau pengetahuan religi yang memadai.
Dalam sebuah model yang disebut “The Abusive Environment Model”, Ismail, 1995 dalam Suyanto (2010:35) menjelaskan bahwa faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap belum dewasa sesungguhnya sanggup ditinjau :

a. Aspek kondisi sang anak sendiri                        
Kekerasan dan pelanggaran terhadap hak anak sanggup terjadi karena faktor pada anak, seperti : anak yang mengalami premature, anak yang mengalami sakit sehingga mendatangkan masalah, kekerabatan yang tidak serasi sehingga mensugesti watak, adanya proses kehamilan atau kelahiran yang sulit, kehadiran anak yang tidak dikehendaki, anak yang mengalami cacat baik mental maupun fisik, anak yang sulit diatur sikapnya, dan anak yang meminta perhatian khusus.
b. Faktor pada orang renta .
Meliputi pernah tidak orang renta mengalami kekerasan atau penganiayaan sewaktu kecil, menganggur atau karena pendapatan tidak mencukupi, pecandu narkotika atau peminum alkohol, pengasingan sosial atau dikucilkan, sewaktu senggang yang terbatas, huruf pribadi yang belum matang, mengalami gangguan emosi atau kekacauan saraf yang lain, mengidap penyakit jiwa, sering kali menderita gangguan kepribadian, berusia terlalu muda sehingga belum matang, terutama sekali mereka yang mendapatkan anak sebelum berusia 20 tahun. Kebanyakan orang renta dari kelompok ini kurang memahami kebutuhan anak dan menerka bahwa anak sanggup memenuhi perasaannya sendiri dan latar belakang pendidikan orang renta yang rendah.
c. Karena faktor lingkungan seperti : kondisi kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistis, kondisi sosial ekonomi yang rendah, adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak merupakan milik orang renta sendiri, status perempuan yang rendah, sistem keluarga patriakat, nilai masyarakat yang terlalu individualistis dan sebagainya.
Dalam pengkajian lain yaitu Vincent J. Fontana, 1973 dalam Suyanto (2010:37) mengemukakan bahwa orang yang biasanya melaksanakan tindak kekerasan atau penganiayaan terhadap anaknya yaitu orang renta yang mempunyai ciri berikut:
a. Secara emosional belum matang.
Orang renta yang termasuk pada ciri ini umumnya bersifat kekanak-kanakan dan menikah belum mencapai usia sesuai tanggung jawab yang harus diemban sebagai orang tua. Sering kali orang renta merasa tidak bahagia dengan kehadiran anak dan memaksa anak untuk memikul beban peranan orang renta dimana sesungguhnya anak belum waktunya untuk melakukannya. Untuk rasa keamanan mereka menekankan adanya aturan-aturan dirumah yang sangat ketat. Siapa saja yang tidak mematuhi aturan yang telah ditetapkan akan mendapatkan ancaman dan hukuman. Dengan emosi yang masih labil orang renta tipe ini lebih cenderung untuk meminta dari pada memberi. Ada juga yang merasa terasing dengan lingkungannya  alasannya yaitu tidak bisa menjalin kekerabatan yang serasi baik dengan keluarga maupun anaknya.
b. Menderita gangguan emosional.
Kebanyakan dari orang renta ini tidak mempunyai cara pengasuhan dan latar belakang yang baik, sehingga tidak mempunyai bekal sebagai orang renta yang bertanggung jawab. Hal ini mengakibatkan mereka tidak sanggup berperan sebagaimana orang renta pada umumnya. Apabila mengalami putus asa orang renta dengan tipe ini tidak bisa melaksanakan kontrol terhadap emosinya sehingga tidak segan-segan untuk melukai siapapun yang ada didekatnya termasuk juga anak-anaknya. Kondisi semacam ini mengakibatkan orang renta senantiasa menyalahkan anak-anaknya padahal anaknya tidak melaksanakan apapun ibarat yang dituduhnya.
c. Secara mental tidak sempurna.
Pada golongan ini orang renta sulit untuk melaksanakan penyesuaian dan mendapatkan anak-anaknya. Dengan kasus mental yang dihadapi mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana seharusnya berfikir. Akibatnya mereka sulit untuk memahami dirinya apalagi orang lain termasuk anak-anaknya sendiri. Sehingga kalau sikap belum dewasa menyimpang dari tingkah laris standar normal yang mereka tentukan, maka mereka akan beranggapan bahwa belum dewasa tidak tunduk dan dengan sengaja melaksanakan pelanggaran. Pelanggaran yang terjadi akan selalu di iringi dengan eksekusi yang makin usang makin berat.
d. Orang renta yang terlalu berpegang pada disiplin.
Orang renta pada tipe ini beranggapan bahwa memukul dan menghajar yaitu sesuatu hal yang masuk akal untuk mendisiplinkan anak. Mereka menganggap bahwa eksekusi fisik yaitu cara masuk akal untuk mendidik anak dan merupakan cara yang sangat efektif. Ada beberapa alasan mengapa orang renta melakukannya. Pertama, karena mereka merasa bahwa orang renta sangat bertanggung jawab dalam membesarkan anak-anaknya sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Kedua, mereka mencoba melaksanakan yang terbaik untuk belum dewasa mereka. Dengan kata lain, yang benar berdasarkan orang renta benar untuk sang anak.
e. Orang renta yang mempunyai kepribadian yang sadisme dan berperilaku kriminal. Meskipun orang renta termasuk pada golongan ini kecil jumlahnya, tetapi perlu juga diwaspadai. Biasanya orang renta tipe ini suka memukul, menyiksa dan kadang-kadang membunuh hanya untuk kepuasan pribadi.
f. Pecandu minuman alkohol.
Orang renta yang telah kecanduan minuman keras atau minuman alkohol meski tidak bermaksud untuk melaksanakan tidak kekerasan pada anaknya, tetapi karena efek minuman tersebut justru sebaliknya akan terjadi. Karena tidak sadar mereka tidak jarang melaksanakan tindak kekerasan terhadap anak-anak. Kondisi kecanduan minuman keras menawarkan konsekuensi terhadap lingkungan kehidupan keluarga yang makin jelek dan mensugesti proses pendidikan pada anak.      
4.      Dampak Tindakan Kekerasan Terhadap Anak
                  Secara umum sanggup dikatakan bahwa tindak kekerasan pada anak yaitu setiap tindakan yang mempunyai dampak fisik yang bersifat traumatis pada anak, baik yang sanggup dilihat dengan mata telanjang atau dilihat dari karenanya bagi kesejahteraan fisik dan mental anak. Tindak Kekerasan terhadap anak meski diakui acap kali terjadi di masyarakat, namun demikian ketika kita berbicara perihal pembuktiannya dari segi hukum, ternyata tidaklah semudah yang dibayangkan. Dalam banyak sekali kasus kita tahu bahwa syok fisik tanggapan tindak kekerasan terhadap terhadap anak terdapat hilang setelah 48 jam-kecuali tindak kekerasan yang menjadikan bekas luka yang serius dan parah. Berikut terdapat beberapa indikator dari WHO yang memperlihatkan tingkat keparahan (severity) dari tindak kekerasan yang dialami anak-anak:
a.       Fatal : anak meninggal: dicurigai bahwa tindak kekerasan fisik (physical abuse) yang mengakibatkan terjadinya kematian.
b.      Serius : kondisi yang mengancam kehidupan atau luka yang cukup serius untuk mengakibatkan terjadinya kerusakan jangka panjang yang signifikan atau diperlukannya penanganan Dokter untuk mencegah kerusakan jangka panjang. Contoh: hilangnya kesadaran, kejang-kejang, patah tulang, kondisi fisik yang cukup parah sehingga butuh penanganan Rumah Sakit.
c.       Sedang : atau syok fisik yang sedang: kondisi fisik dengan gejala-gejala teramati (sakit/kerusakan) diharapkan sembuh paling sedikit 48 jam. Contoh: memar-memar, lecet.
Pada belum dewasa yang mengalami penelantaran sanggup terjadi kegagalan dalam tumbuh kembangnya, malnutrisi, belum dewasa ini kemungkinan fisiknya kecil, kelaparan, terjadi bisul kronis, hygiene kurang, hormon pertumbuhan turun. Apabila kegagalan tumbuh kembang anak tarafnya sangat berat maka belum dewasa akan menjadi kerdil apabila ini terjadi secara kronis maka anak tidak bisa tumbuh kembang meskipun kemudian diberi makan yang cukup. Anak-anak ini proporsi tubuhnya normal, akan tetapi akan kecil untuk anak sesuainya. Kadang ada dari mereka mengalami perbaikan hormon pertumbuhannya dan kemudian mengejar ketinggalan pertumbuhan yang pernah dialaminya.
Dari segi tingkah laris belum dewasa yang mengalami penganiayaan sering memperlihatkan seperti: penarikan diri, ketakutan, tingkah laris agresif, emosi yang labil. Mereka juga sering memperlihatkan tanda-tanda depresi, jati diri yang rendah, kecemasan, adanya gangguan tidur, phobia, kelak bisa tumbuh menjadi penganiaya, menjadi bersifat keras, penggangguan stres pasca syok dan terlibat dalam penggunaan zat adiktyif.
Dari hasil penelitian dikatakan bahwa penganiayaan pada masa anak-anak  berhubungan erat dengan meningkatnya kemungkinan untuk mendapatkan pengalaman masa kanak-kanak yang tidak baik dalam lingkungan rumah, kemungkinan besar untuk mendapatkan gangguan kepribadian ambang dan pada gilirannya akan mendapatkan kemungkinan yang lebih besar untuk menerima depresi pada masa dewasanya.
B.     Konsep Dasar Pengetahuan
1.      Definisi
            Pengetahuan hasil tahu dan terjadi sehabis seseorang melaksanakan pengindraan terhadap satu objek tertentu, pengindraan ini terjadi melalui panca indra insan yaitu penglihatan, penciuman, indra peraba dan indra perasa yang mencakup :
a. Tahu (Know)
b. Memahami (Compheresion)

c. Aplikasi (Application)
d. Analisis (Analysis)
e. Sintetis (Synthesis)
f. Evaluasi (Evaluation)
(Notoatmodjo, 2005).
2.      Tingkat Pengetahuan
          Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 (enam) tingkatan. Semakin ke atas tingkat pengetahuan semakin baik pengaruhnya terhadap perilaku. Tingkatan pengetahuan tersebut yaitu :
               a. Tahu (Know)
Diartikan sebagai mengingat suatu bahan yag telah di pelajari sebelumnya. Tahu  merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah, untuk mengukur orang tahu perihal apa yang di pelajari antara lain dengan menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan dan menyatakan. Dengan kata lain sanggup menyebutkan pengertian, cara penularan dan cara pencegahan penyakit.
b. Memahami (Compherension)
Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar perihal objek yang diketahui dan sanggup menginterpretasikan bahan tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau bahan harus sanggup menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang telah di pelajari.

c. Aplikasi (Application)
 Kemampuan untuk memakai bahan yang telah di pelajari pada suatu situasi/kondisi, ibarat sanggup memakai proses pemecahan kasus kesehatan yang dihadapi.
d.   Analisis
       Suatu kemampuan untuk menjabarkan bahan atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat  dilihat dari penggunaan kata  kerja ibarat sanggup menggambarkan, membedakan, mengelompokkan dan memisahkan.
e. Sintesis (Synthesis)
                                 Sintesis menandakan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan  kebagian-kebagian didalam suatu bentuk seluruhnya yang baru. 
 f. Evaluasi (Evaluation)
  Kemampuan untuk melaksanakan justifikasi atau evaluasi terhadap suatu bahan atau objek,  penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri. (Notoatmodjo, 2005).
3.      Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan
a. Pendidikan
Pendidikan proses menumbuh kembangkan seluruh kemampuan dan perilaku insan melalui pengajaran, sehingga dalam pendidikan perlu dipertimbangkan umur (proses perkembangan klien) dan kekerabatan dengan proses belajar. Tingkat pendidikan juga merupakan salah satu faktor yang mensugesti persepsi seseorang untuk lebih gampang mendapatkan wangsit dan teknologi gres (Notoatmodjo, 2005).
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan bertambah pengalaman yang mensugesti wawasan dan pengetahuan. Adapun tujuan yang hendak dicapai melalui pendidikan alat untuk mengubah pengetahuan (pengertian, pendapat, konsep-konsep) sikap dan persepsi serta menambah tingkah laris atau kebiasaan yang gres (Notoatmodjo, 2005).
b. Pekerjaan
Pekerjaan yaitu aktifitas yang dilakukan sehari-hari untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dimana semua bidang pekerjaan umumnya dibutuhkan adanya kekerabatan sosial antara satu sama lain, setiap orang harus sanggup bergaul dengan teman sejawat walaupun dengan atasan sehingga orang yang kekerabatan sosial luas maka akan lebih tinnggi pengetahuannya dibandingkan dengan orang yang kurang kekerabatan sosial dengan orang lain (Notoatmodjo, 2005).
c.    Umur
Semakin cukup usia, tingkat kemampuan atau kematangan akan lebih gampang untuk berpikir dan gampang mendapatkan informasi. Umur mensugesti bagaimana mengambil keputusan dalam pemeliharaan kesehatannya, semakin bertambah umur maka pengalaman dan pengetahuan bertambah. Hal tersebut dihubungkan dengan efek pengalaman sendiri maupun orang lain sanggup mensugesti sikap dikala ini atau kemudian.  
d.   Sumber Informasi
Informasi yaitu suatu yang terjadi mediator dalam memberikan informasi, merangsang pikiran dan kemampuan, info yang diperoleh dari banyak sekali sumber akan mensugesti tingkat pengetahuan seseorang. Bila seseorang memperoleh informasi, maka cenderung mempunyai pengetahuan yang lebih luas. Informasi sanggup diperoleh melalui media contohnya TV, radio, surat kabar, majalah,   poster dan lain-lain (Notoatmodjo, 2003).


Sumber http://macrofag.blogspot.com