Kehidupan serta kebudayaan insan di bumi nusantara pada awalnya merupakan kehidupan yang relatif sederhana dan masyarakatnya belum mengenal tulisan. Zaman ketika masyarakat Indonesia belum mengenal goresan pena disebut masyarakat Indonesia zaman praaksara. Zaman ini berlangsung semenjak insan ada hingga insan mengenal goresan pena dalam kehidupan budayanya. Masyarakat yang hidup pada masa praaksara ini hanya meninggalkan bendabenda kebudayaan dan mewariskan kepada anak cucunya berupa alat-alat dari batu, tulang, logam, serta lukisan yang terdapat pada dinding-dinding gua tempat tinggalnya. Karena zaman praaksara belum meninggalkan tulisan, maka para peneliti hanya meneliti benda-benda tersebut untuk merekonstruksi kehidupan mereka. Dari cara ini para peneliti membuat penafsiran atau asumsi perihal kehidupan pada masa lalu. Benda-benda prasejarah yang berupa alat-alat dari batu, kayu, tulang, logam, serta fosil tersebut akan sanggup diketahui bagaimana cara hidupnya, di mana, dan bagaimana kehidupan mereka.
Tradisi Sejarah Masyarakat Indonesia Masa Praaksara
Periodisasi masyarakat Indonesia masa praaksara
Dari kehidupan masyarakat zaman praaksara, kita mendapat warisan berupa alat- alat dari batu, tulang, kayu, dan logam serta lukisan pada dinding-dinding gua. Masa lampau yang hanya meninggalkan jejak-jejak sejarah tersebut menjadi komponen penting dalam perjuangan menuliskan sejarah kehidupan manusia. Jejak-jejak tersebut mengandung warta yang sanggup dijadikan materi penulisan sejarah dan akan disampaikan dari generasi ke generasi berikutnya hingga turun temurun. Jejak sejarah yang historis merupakan jejak sejarah yang berdasarkan para mahir mempunyai warta perihal kejadian- bencana historis, sehingga sanggup dipergunakan untuk penulisan sejarah. Jejak historis ada dua, yaitu jejak historis berwujud benda dan jejak historis yang berwujud tulisan.
Jejak historis berwujud benda merupakan hasil budaya/tradisi di masa kuno, misalnya, tradisi zaman Paleolitikum, Mesolitikum, Neolitikum, Megalitikum, dan Perundagian.
Tradisi insan hidup berpindah (zaman Paleolitikum)
Manusia di zaman hidup berpindah termasuk jenis Pithecanthropus. Mereka hidup dari mengumpulkan masakan (food gathering), hidup di gua-gua, masih tampak liar, belum bisa menguasai alam, dan tidak menetap. Kebudayaan mereka sering disebut kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong. Disebut kebudayaan Pacitan alasannya alat-alat budayanya banyak ditemukan di Pacitan (di Pegunungan Sewu Pantai Selatan Jawa) berupa chopper (kapak penetak) disebut juga kapak genggam. Karena masih terbuat dari watu maka disebut stone culture (budaya batu). Alat sejenis juga ditemukan di Parigi (Sulawesi) dan Lahat (Sumatra).
Kebudayaan Ngandong ditemukan di desa Ngandong (daerah Ngawi Jawa Timur). Alatnya ada yang terbuat dari tulang maka disebut bone culture. Di Ngandong ditemukan juga kapak genggam, benda dari watu berupa flakes dan watu indah berwarna yang disebut chalcedon.
Peningkatan hidup insan memasuki hidup setengah menetap/semisedenter (zaman Mesolitikum)
Mereka sudah mempunyai kemajuan hidup mirip adanya kjokkenmoddinger (sampah kerang) dan abris sous roche (gua tempat tinggal). Alat-alatnya ialah kapak genggam (pebble) disebut juga kapak Sumatra, kapak pendek (hache courte), dan pipisan.
Tradisi insan zaman hidup menetap (zaman Neolitikum)
Pada zaman ini, insan sudah mulai food producing, yakni mengusahakan bercocok tanam sederhana dengan mengusahakan ladang. Jenis tanamannya ialah ubi, talas, padi, dan jelai. Mereka memakai peralatan yang lebih anggun mirip beliung persegi atau kapak persegi dan kapak lonjong yang dipergunakan untuk mengerjakan tanah. Kapak persegi ditemukan di Sumatra, Jawa, Bali, dan Kalimantan Barat, sedangkan di Semenanjung Melayu kapak ini disebut kapak bahu. Kapak lonjong berbentuk bundar telur, banyak ditemukan di Sulawesi, Papua, atau kepulauan Indonesia Timur. Alat serpih untuk mata panah dan mata tombak ditemukan di Gua Lawa Sampung (Jawa Timur) dan Cabbenge (Sulawesi Selatan). Di Malolo (Sumba Timur) ditemukan kendi air. Pada masa ini, terjadi perpindahan penduduk dari daratan Asia (Tonkin di Indocina) ke Nusantara yang kemudian disebut bangsa Proto Melayu pada tahun 1500 SM melalui jalan barat dan jalan utara. Alat yang dipergunakan ialah kapak persegi, beliung persegi, pebble (kapak Sumatra), dan kapak genggam. Kebudayaan itu oleh Madame Madeleine Colani, mahir sejarah Prancis, dinamakan kebudayaan Bacson-Hoabinh. Kepercayaan zaman bercocok tanam ialah menyembah yang kuasa alam.
Tradisi Megalitikum
Pada zaman ini, alat dibentuk dari watu besar mirip menhir, dolmen, dan sarkofagus. Menhir ialah tugu watu besar tempat roh nenek moyang, ditemukan di Sumatra Selatan, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan. Dolmen ialah meja watu besar (altar), terdapat di Bondowoso, Jawa Timur. Sarkofagus ialah kubur peti watu besar. Di Sulawesi, sarkofagus dikenal dengan sebutan waruga.
Tradisi zaman perundagian
Setelah hidup menetap, mereka semakin pintar membuat alat, bahkan dengan kedatangan bangsa Deutero Melayu pada 500 SM, mereka sudah bisa membuat alat dari logam (sering disebut budaya Dongson lantaran berasal dari Dongson). Zaman ini disebut zaman kemahiran teknologi. Mereka juga telah mengenal sawah dan sistem pengairan. Jenis benda logam yang dibentuk di Indonesia pada zaman ini, antara lain, sebagai berikut:
- Nekara, yaitu semacam tambur besar yang ditemukan di Bali, Roti, Alor, Kei, dan Papua.
- Kapak corong, disebut demikian lantaran penggalan tangkainya berbentuk corong. Sebutan lainnya ialah kapak sepatu. Benda ini dipergunakan untuk upacara. Banyak ditemukan di Makassar, Jawa, Bali, Pulau Selayar, dan Papua.
- Arca perunggu, ditemukan di kawasan Bangkinang, Riau, dan Limbangan, Bogor.
Ciri-ciri masyarakat praaksara
Setelah nenek moyang kita tiba di Nusantara dan menetap, mereka meninggalkan tradisi, hukum kemasyarakatan, serta religi yang ditaati oleh mereka dan anak keturunannya. Tradisi tersebut diwariskan kepada masyarakat hingga kini ini. Kemampuan nenek moyang kita sebelum mengenal goresan pena dan sebelum terpengaruh budaya Hindu-Buddha oleh Brandes dikelompokkan sebagai berikut.
Kemampuan berlayar
Nenek moyang bangsa Indonesia tiba dari Yunan sebelum Masehi. Mereka sudah pintar mengarungi maritim dan harus memakai bahtera untuk hingga di Indonesia. Kemampuan berlayar ini dikembangkan di tanah baru, yaitu di Nusantara, mengingat kondisi geografi di Nusantara terdiri banyak pulau. Kondisi ini mengharuskan memakai bahtera untuk mencapai kepulauan lainnya. Salah satu ciri bahtera yang dipergunakan nenek moyang kita ialah bahtera cadik, yaitu bahtera yang memakai alat dari bambu atau kayu yang dipasang di kanan kiri perahu.
Pembuatan bahtera biasanya dilakukan secara bersama-sama oleh kaum laki-laki. Setelah masa per- undagian, acara pelayaran juga semakin meningkat. Perahu bercadik yang merupakan alat angkut tertua tetap dikembangkan sebagai alat transportasi serta perdagangan. Bukti adanya kemampuan dan kemajuan berlayar tersebut terpahat pada relief candi Borobudur yang berasal dari kurun ke-8. Relief tersebut melukiskan tiga jenis perahu, yaitu:
- perahu besar yang bercadik,
- perahu besar yang tidak bercadik, dan
- perahu lesung
Bentuk bahtera lesung ialah sampan yang dibentuk dari satu batang kayu yang dikeruk di dalamnya ibarat lesung, tetapi bentuknya memanjang. Untuk memperbesar ruangannya, pada dinding bahtera ditempel papan serta diberi cadik pada sisi kanan dan kirinya untuk menjaga keseimbangan. Kapal yang besar pada relief candi Borobudur mempunyai dua tiang layar yang dimiringkan ke depan, sedangkan layar yang digunakan pada zaman itu berbentuk segi empat dengan buritan layar berbentuk segitiga.
Kemampuan berlayar selanjutnya menjadi dasar dari kemampuan berdagang. Oleh lantaran itu, pada awal Masehi bangsa Indonesia sudah berlayar hingga batas barat Pulau Madagaskar, batas selatan Selandia Baru di timur Pulau Paskah, dan di utara hingga Jepang. Hal ini sanggup terjadi lantaran nenek moyang mempunyai ilmu astronomi, yaitu Bintang Biduk Selatan menjadi petunjuk arah selatan.
Kemampuan berlayar selanjutnya menjadi dasar dari kemampuan berdagang. Oleh lantaran itu, pada awal Masehi bangsa Indonesia sudah berlayar hingga batas barat Pulau Madagaskar, batas selatan Selandia Baru di timur Pulau Paskah, dan di utara hingga Jepang. Hal ini sanggup terjadi lantaran nenek moyang mempunyai ilmu astronomi, yaitu Bintang Biduk Selatan menjadi petunjuk arah selatan.
Kemampuan bersawah
Sistem persawahan mulai dikenal bangsa Indonesia semenjak zaman Neolitikum, yaitu insan hidup menetap. Mereka terdorong untuk mengusahakan sesuatu yang menghasilkan (food producing). Sistem persawahan diawali dari sistem ladang sederhana yang belum banyak memakai teknologi, kemudian meningkat dengan adanya teknologi pengairan hingga lahirlah sistem persawahan.
Sistem irigasi dalam bercocok tanam digunakan untuk memenuhi kebutuhan air dengan cara membuat pematang dan kanal air. Cara ini kemudian meningkat menjadi pembuatan terasering di lereng pegunungan, serta pembuatan bendungan atau dam air yang sederhana. Sementara itu, untuk mengerjakan sawah dibuatlah alat-alat dari logam dan menyebarkan tumbuhan biji-bijian, padi, juwawut, serta tumbuhan kering lainnya.
Mengenal astronomi
Pengetahuan astronomi (ilmu perbintangan) sudah dimiliki nenek moyang bangsa Indonesia. Masyarakat Indonesia telah mengenal ilmu pengetahuan dan memanfaatkan teknologi angin isu terkini sebagai tenaga penggagas dalam acara pelayaran dan perdagangan. Selain digunakan untuk mengenali musim, ilmu astronomi juga sudah dimanfaatkan sebagai petunjuk arah dalam pelayaran, yaitu Bintang Biduk Selatan dan Bintang Pari (orang Jawa menyebut Lintang Gubug Penceng) untuk menunjuk arah selatan serta Bintang Biduk Utara untuk menyampaikan arah utara. Kemampuan astronomi dan angin isu terkini ini telah mengantarkan mereka berlayar ke barat hingga di Pulau Madagaskar, ke timur hingga di Pulau Paskah, dan ke selatan hingga di Selandia Baru serta ke arah utara hingga di Kepulauan Jepang. Pengetahuan astronomi juga digunakan dalam pertanian dengan memanfaatkan Bintang Waluku sebagai membuktikan awal isu terkini hujan.
Sistem mocopat
Sistem mocopat ialah suatu kepercayaan yang didasarkan pada pembagian empat penjuru arah mata angin, yaitu utara, selatan, barat, dan timur. Sistem mocopat dikaitkan dengan pendirian bangunan, sentra kota atau pemerintah (istana), alun-alun, tempat pemujaan, pasar, dan penjara. Peletakan bangunan tersebut dibentuk denah bersudut empat di mana setiap sudut mempunyai kemampuan dan kekuatan secara magis. Itulah sebabnya mengapa setiap desa pada zaman kuno selalu diberi sesaji pada waktu-waktu tertentu, bahkan hari pasaran berdasarkan perhitungannya juga dikaitkan dengan sistem mocopat, yaitu
Di kawasan Tuban, Jawa Timur di masa dahulu masih terdapat model desa penenun sebagai berikut.
Pengetahuan astronomi (ilmu perbintangan) sudah dimiliki nenek moyang bangsa Indonesia. Masyarakat Indonesia telah mengenal ilmu pengetahuan dan memanfaatkan teknologi angin isu terkini sebagai tenaga penggagas dalam acara pelayaran dan perdagangan. Selain digunakan untuk mengenali musim, ilmu astronomi juga sudah dimanfaatkan sebagai petunjuk arah dalam pelayaran, yaitu Bintang Biduk Selatan dan Bintang Pari (orang Jawa menyebut Lintang Gubug Penceng) untuk menunjuk arah selatan serta Bintang Biduk Utara untuk menyampaikan arah utara. Kemampuan astronomi dan angin isu terkini ini telah mengantarkan mereka berlayar ke barat hingga di Pulau Madagaskar, ke timur hingga di Pulau Paskah, dan ke selatan hingga di Selandia Baru serta ke arah utara hingga di Kepulauan Jepang. Pengetahuan astronomi juga digunakan dalam pertanian dengan memanfaatkan Bintang Waluku sebagai membuktikan awal isu terkini hujan.
Sistem mocopat
Sistem mocopat ialah suatu kepercayaan yang didasarkan pada pembagian empat penjuru arah mata angin, yaitu utara, selatan, barat, dan timur. Sistem mocopat dikaitkan dengan pendirian bangunan, sentra kota atau pemerintah (istana), alun-alun, tempat pemujaan, pasar, dan penjara. Peletakan bangunan tersebut dibentuk denah bersudut empat di mana setiap sudut mempunyai kemampuan dan kekuatan secara magis. Itulah sebabnya mengapa setiap desa pada zaman kuno selalu diberi sesaji pada waktu-waktu tertentu, bahkan hari pasaran berdasarkan perhitungannya juga dikaitkan dengan sistem mocopat, yaitu
- arah barat diletakkan pon jatuh hari Senin dan Selasa,
- arah timur diletakkan legi jatuh hari Jumat,
- arah selatan diletakkan pahing jatuh hari Sabtu dan Minggu,
- arah utara diletakkan wage jatuh hari Rabu dan Kamis, dan
- arah tengah diletakkan kliwon jatuh hari Jumat dan Sabtu.
Di kawasan Tuban, Jawa Timur di masa dahulu masih terdapat model desa penenun sebagai berikut.
- Pusat desa usang terdapat di tengah desa (dikelilingi desa) di dalamnya terdapat rumah kepala desa, rumah pencelupan kain, dan rumah ulama.
- Pusat manajemen berada di belakang rumah kepala desa.
- Kemudian dikelilingi desa-desa mocopat yang membentuk lingkaran mengelilingi sentra desa tersebut.
Kesenian wayang
Kesenian wayang semula berpangkal pada pemujaan roh nenek moyang. Semula wayang diwujudkan sebagai boneka nenek moyang yang dimainkan oleh dalang pada malam hari. Dengan beralaskan tirai dan tata lampu di belakangnya serta boneka yang digerak-gerakkan sehingga terlihat bayangan boneka seperti hidup. Jika dalang kemasukan roh nenek moyang, sang dalang akan menyuarakan bunyi nenek moyang yang berisi nasihat-nasihat kepada anak cucu mereka. Setelah kedatangan hinduisme ke nusantara maka kisah nenek moyang digantikan kisah Ramayana dan Mahabharata. Bonekanya kemudian diganti dengan bentuk tokoh dalam dongeng Mahabharata. Fungsinya pun beralih sebagai pertunjukan dan penontonnya melihat dari depan tirai.
Pada zaman Kediri, muncul kitab Gatotkacasraya yang mulai menampilkan yang kuasa orisinil Jawa, yakni Punakawan yang berperan garang dan dinamis dalam membimbing dan mengawal para Pandawa dari ancaman musuhnya, yakni Kurawa (kitab Gatotkacasraya memuat unsur j4vanisasi).
Kesenian wayang semula berpangkal pada pemujaan roh nenek moyang. Semula wayang diwujudkan sebagai boneka nenek moyang yang dimainkan oleh dalang pada malam hari. Dengan beralaskan tirai dan tata lampu di belakangnya serta boneka yang digerak-gerakkan sehingga terlihat bayangan boneka seperti hidup. Jika dalang kemasukan roh nenek moyang, sang dalang akan menyuarakan bunyi nenek moyang yang berisi nasihat-nasihat kepada anak cucu mereka. Setelah kedatangan hinduisme ke nusantara maka kisah nenek moyang digantikan kisah Ramayana dan Mahabharata. Bonekanya kemudian diganti dengan bentuk tokoh dalam dongeng Mahabharata. Fungsinya pun beralih sebagai pertunjukan dan penontonnya melihat dari depan tirai.
Pada zaman Kediri, muncul kitab Gatotkacasraya yang mulai menampilkan yang kuasa orisinil Jawa, yakni Punakawan yang berperan garang dan dinamis dalam membimbing dan mengawal para Pandawa dari ancaman musuhnya, yakni Kurawa (kitab Gatotkacasraya memuat unsur j4vanisasi).
Pada waktu senggang, nenek moyang yang sudah menetap dan hidup bercocok tanam menyalurkan talenta seninya serta pemujaan sesudah panen dengan pertunjukan wayang. Pertunjukan tersebut untuk memuja Dewi Sri yang telah memberi berkah pertanian. Selain itu, pertunjukan wayang merupakan tontonan yang di dalamnya terdapat pesan tersirat yang berharga.
Seni gamelan
Seni gamelan ada kaitannya dengan seni wayang. Seni gamelan ini digunakan untuk mengiringi pertunjukkan wayang. Pada waktu isu terkini bercocok tanam sudah usai masyarakat kuno itu membuat alat musik gamelan, menyebarkan seni membatik, dan mengadakan pertunjukan wayang semalam suntuk untuk sanggup dilihat oleh masyarakat di sekitarnya.
Seni membatik
Seni membatik merupakan kerajinan membuat gambar pada kain. Cara menggambarnya mempergunakan alat canting yang diisi materi cairan lilin (orang Jawa menyebutnya malam) yang telah dipanaskan, kemudian dilukiskan pada kain sesuai motifnya. Bagian kain yang tidak terkena malam/cairan lilin akan menjadi berwarna merah sesudah dimasukkan dalam air soga. Membatik dilakukan untuk mengisi waktu luang bercocok tanam sesudah panen, sekaligus merupakan kegiatan religius, alasannya ada kegiatan membatik tertentu yang dimaksudkan untuk menghormati nenek moyang mereka.
Seni gamelan
Seni gamelan ada kaitannya dengan seni wayang. Seni gamelan ini digunakan untuk mengiringi pertunjukkan wayang. Pada waktu isu terkini bercocok tanam sudah usai masyarakat kuno itu membuat alat musik gamelan, menyebarkan seni membatik, dan mengadakan pertunjukan wayang semalam suntuk untuk sanggup dilihat oleh masyarakat di sekitarnya.
Seni membatik
Seni membatik merupakan kerajinan membuat gambar pada kain. Cara menggambarnya mempergunakan alat canting yang diisi materi cairan lilin (orang Jawa menyebutnya malam) yang telah dipanaskan, kemudian dilukiskan pada kain sesuai motifnya. Bagian kain yang tidak terkena malam/cairan lilin akan menjadi berwarna merah sesudah dimasukkan dalam air soga. Membatik dilakukan untuk mengisi waktu luang bercocok tanam sesudah panen, sekaligus merupakan kegiatan religius, alasannya ada kegiatan membatik tertentu yang dimaksudkan untuk menghormati nenek moyang mereka.
Pengaturan masyarakat
Nenek moyang kita hidup berkelompok. Mereka bersepakat untuk hidup secara bersama, hidup gotong royong, dan demokratis. Mereka menentukan seorang pemimpin yang dianggap sanggup melindungi masyarakat dari banyak sekali gangguan termasuk gangguan roh sehingga seorang pemimpin dianggap mempunyai kesaktian lebih. Cara pemilihan pemimpin yang demikian disebut primus inter pares, yaitu yang terutama di antara yang banyak. Jadi, seorang pemimpin ialah yang terbaik bagi mereka bersama.
Sistem ekonomi dengan mengenal perdagangan
Kebutuhan hidup insan selalu menuntut untuk dipenuhi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat kuno saling bertukar barang (barter) dari satu wilayah ke wilayah lain. Jadi, dalam hal perdagangan, nenek moyang kita sudah melakukan kegiatan tukar barang dikarenakan mereka belum mengenal uang, nilainya berdasarkan janji bersama.
Sistem kepercayaan
Manusia yang terdiri atas jasmani dan rohani memunculkan suatu kepercayaan bersifat rohani yang kemudian dipersonifikasikan dalam bentuk riil. Sistem kepercayaan masyarakat Indonesia mulai tumbuh pada masa hidup berburu dan mengumpulkan makanan, ini dibuktikan dengan inovasi lukisan dinding gua di Sulawesi Selatan berbentuk cap tangan merah dengan jari-jari yang direntangkan. Lukisan itu diartikan sebagai sumber kekuatan atau simbol proteksi untuk mencegah roh jahat. Manusia di zaman hidup bercocok tanam sudah percaya adanya yang kuasa alam yang membuat banjir, gunung meletus, gempa bumi, dan sebagainya.
Pada zaman perundagian, masyarakat sudah percaya kepada roh nenek moyang. Mereka percaya jiwa dan roh berdiam di watu besar, pohon besar, dan sebagainya. Kepercayaan ini pada balasannya diwariskan kepada kita hingga masa sekarang.
Herbert Spencer dan August Comte menerapkan teori evolusi untuk mengkaji masyarakat insan dalam kaitannya dengan religi. Menurut keduanya, semua bangsa di dunia mempunyai suatu bentuk religi. Bentuk religi muncul lantaran insan sadar dan takut akan maut. Bentuk religi tertua ialah penyembahan kepada roh yang merupakan personifikasi dari jiwa orang yang telah meninggal, terutama dari nenek moyangnya yang kemudian berevolusi terhadap pemujaan kepada dewa. Hal ini sesuai dengan pandangan Edward B. Taylor. Ia menyampaikan bahwa tingkat tertua dari evolusi religi ialah pemujaan kepada jiwa orang yang telah meninggal yang disebut makhluk halus (spirit), yakni jiwa yang telah merdeka, terlepas dari badan jasmani untuk selamanya. Keyakinan ini disebut animisme.
Jadi, sanggup kita ketahui bahwa tradisi masyarakat Indonesia sebelum mengenal goresan pena ialah sebagai berikut.
Herbert Spencer dan August Comte menerapkan teori evolusi untuk mengkaji masyarakat insan dalam kaitannya dengan religi. Menurut keduanya, semua bangsa di dunia mempunyai suatu bentuk religi. Bentuk religi muncul lantaran insan sadar dan takut akan maut. Bentuk religi tertua ialah penyembahan kepada roh yang merupakan personifikasi dari jiwa orang yang telah meninggal, terutama dari nenek moyangnya yang kemudian berevolusi terhadap pemujaan kepada dewa. Hal ini sesuai dengan pandangan Edward B. Taylor. Ia menyampaikan bahwa tingkat tertua dari evolusi religi ialah pemujaan kepada jiwa orang yang telah meninggal yang disebut makhluk halus (spirit), yakni jiwa yang telah merdeka, terlepas dari badan jasmani untuk selamanya. Keyakinan ini disebut animisme.
Jadi, sanggup kita ketahui bahwa tradisi masyarakat Indonesia sebelum mengenal goresan pena ialah sebagai berikut.
- Organisasi kemasyarakatannya sudah ada, yaitu adanya masyarakat teratur, demokratis, dan menentukan pemimpinnya dengan primus inter pares dalam bentuk kesukuan.
- Kemasyarakatan atau pranata sosialnya ialah masyarakat yang hidup berkelompok sebagai makhluk sosial, dan bergotong royong.
- Memiliki pengetahuan alam, yakni memanfaatkan alam di sekitarnya sebagai wujud peduli dan memelihara alam lingkungannya.
- Sudah mengenal sistem persawahan.
- Kemampuan berlayar dan berdagang dengan memanfaatkan angin musim, bahkan mereka sudah berani mengarungi maritim luas.
- Sudah mempunyai teknologi perundagian, yakni pengecoran logam dengan sistem bivalve dan a cire perdue.
- Sistem kepercayaan pada mulanya menyembah roh nenek moyang kemudian menyembah dewa.
- Sudah mempunyai sistem ekonomi barter.
Cara masyarakat yang belum mengenal goresan pena mewariskan masa lalunya
Kita menyadari bahwa masyarakat Indonesia ketika ini merupakan kelanjutan dari masyarakat terdahulu yang turun temurun menjadi nenek moyang kita dan telah mewariskan budayanya kepada masyarakat sekarang. Mereka di masa lampau hidup secara berkelompok, gotong royong, dan adanya pola kepemimpinan yang demokratis dan rasional, yakni primus inter pares. Pola kehidupan masyarakat ketika itu sanggup berkembang hingga masa kini. Cara mereka dalam mewariskan apa yang mereka miliki dilakukan melalui keluarga dan masyarakat. Melalui keluarga
Keluarga merupakan lingkup sosial terkecil, tetapi paling kental dalam hidup kebersamaan. Nilai-nilai dan tatanan kehidupan dibina serta dihidupkan terus menerus melalui keluarga, mulai cara membuat alat kebudayaan, bahasa, bahkan unsur upacara-upacara yang kemudian dilestarikan secara turun temurun.
Keluarga merupakan lingkup sosial terkecil, tetapi paling kental dalam hidup kebersamaan. Nilai-nilai dan tatanan kehidupan dibina serta dihidupkan terus menerus melalui keluarga, mulai cara membuat alat kebudayaan, bahasa, bahkan unsur upacara-upacara yang kemudian dilestarikan secara turun temurun.
Melalui masyarakat
Masyarakat ialah suatu kumpulan insan yang tinggal di suatu tempat dalam jangka waktu yang usang dan menghasilkan kebudayaan. Jadi, masyarakat sanggup dibedakan berdasarkan budaya yang ada dan berkembang di dalamnya.
Masyarakat prasejarah mewariskan masa lalunya melalui benda-benda kebudayaan, baik yang terbuat dari batu, tulang, atau logam. Selain itu, mereka juga meninggalkan jejak-jejak berupa lukisan di dinding gua, sampah dapur, dan gua tempat tinggal.
Selain peninggalan yang berwujud benda (bersifat konkret), masyarakat praaksara juga meninggalkan budaya tidak berwujud benda (bersifat abstrak). Bentuk-bentuk peninggalannya sanggup berupa sistem religi (kepercayaan) dan tabiat istiadat (bahasa, seni, upacara-upacara adat, dan sebagainya). Kebudayaan itu ada yang punah, namun ada juga yang tetap dipelihara oleh masyararat. Misalnya, kontribusi sesaji pada tempat-tempat yang dianggap keramat, pertunjukan hiburan rakyat, tata cara perkawinan, kematian, dan perhitungan hari baik.
Berikut metode-metode pewarisan masa kemudian yang dilakukan masyarakat praaksara melalui keluarga dan masyarakat:
Masyarakat ialah suatu kumpulan insan yang tinggal di suatu tempat dalam jangka waktu yang usang dan menghasilkan kebudayaan. Jadi, masyarakat sanggup dibedakan berdasarkan budaya yang ada dan berkembang di dalamnya.
Masyarakat prasejarah mewariskan masa lalunya melalui benda-benda kebudayaan, baik yang terbuat dari batu, tulang, atau logam. Selain itu, mereka juga meninggalkan jejak-jejak berupa lukisan di dinding gua, sampah dapur, dan gua tempat tinggal.
Selain peninggalan yang berwujud benda (bersifat konkret), masyarakat praaksara juga meninggalkan budaya tidak berwujud benda (bersifat abstrak). Bentuk-bentuk peninggalannya sanggup berupa sistem religi (kepercayaan) dan tabiat istiadat (bahasa, seni, upacara-upacara adat, dan sebagainya). Kebudayaan itu ada yang punah, namun ada juga yang tetap dipelihara oleh masyararat. Misalnya, kontribusi sesaji pada tempat-tempat yang dianggap keramat, pertunjukan hiburan rakyat, tata cara perkawinan, kematian, dan perhitungan hari baik.
Berikut metode-metode pewarisan masa kemudian yang dilakukan masyarakat praaksara melalui keluarga dan masyarakat:
- Folklore
Folklore ialah tabiat istiadat tradisional dan dongeng rakyat yang diwariskan secara turun temurun, tetapi belum dibukukan. Ada juga yang mengartikan folklore ialah sebuah dongeng yang tokohnya ialah binatang, makhluk hidup di luar manusia, atau personifikasi absurd yang mengambil perwatakan kemanusiaan dan berbicara serta bertingkah mirip manusia. Folklore dibedakan atas folklore verbal dan folklore nonlisan. Folklore verbal ialah folklore yang disebarluaskan dan diwariskan dalam bentuk lisan, mirip bahasa, teka-teki, dan puisi rakyat. Folklore nonlisan ialah folklore dalam bentuk benda-benda kuno hasil kebudayaan, misalnya, arsitektur rakyat, kerajinan tangan, pakaian, pemanis tradisional, dan obat tradisional. - Mitologi
Mitologi ialah dongeng rakyat yang dianggap benar-benar terjadi dan bertalian dengan terjadinya tempat, alam semesta, para dewa, tabiat istiadat, dan konsep dongeng suci. Jadi, mitologi ialah dongeng perihal asal-usul alam semesta, manusia, atau bangsa yang diungkapkan dengan cara-cara mistik dan mengandung arti yang dalam.
Setiap suku bangsa di wilayah Nusantara mempunyai mitologi, yang ceritanya dikaitkan dengan kehidupan masyarakat di suatu daerah, misalnya, dongeng terjadinya mado-mado atau marga di Nias (Sumatra Utara), dongeng barong di Bali, dongeng pemindahan Gunung Suci Mahameru di India oleh para yang kuasa ke Gunung Semeru yang dianggap suci oleh orang Jawa dan Bali. Cerita mitologi yang paling luas persebarannya hampir di seluruh Asia Tenggara ialah mitologi Dewi Padi atau Dewi Sri. - Legenda
Legenda ialah dongeng rakyat yang dianggap benar-benar terjadi yang ceritanya dihubungkan dengan tokoh sejarah, telah dibumbui dengan keajaiban, kesaktian, dan keistimewaan tokohnya. Legenda ada empat kelompok sebagai berikut.
1) Legenda keagamaan, Di dalam legenda keagamaan banyak kita jumpai kisah-kisah para wali penyebar Islam, misalnya, Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar di Jawa, sedangkan di Bali sanggup kita temui legenda perihal kisah Ratu Calon Arang.
2) Legenda kegaiban, Legenda ini berkisah perihal kepercayaan rakyat pada alam gaib, contohnya kerajaan mistik orang Bunian di rimba raya Sumatra, kerajaan mistik Pajajaran di Jawa Barat, kerajaan mistik Laut Kidul di Jawa Tengah dan Yogyakarta, dan Si Manis Jembatan Ancol dari Jakarta.
3) Legenda perseorangan, Legenda perseorangan menceritakan tokoh tertentu yang dianggap pernah ada dan terjadi, contohnya Sabai nan Aluih dan Si Pahit Lidah dari Sumatra, Si Pitung dan Nyai Dasima dari Jakarta, Lutung Kasarung dari Jawa Barat, Rara Mendut dan Jaka Tingkir dari Jawa Tengah, Suramenggolo dari Jawa Timur, serta Jayaprana dan Layonsari dari Bali.
4) Legenda lokal, Legenda lokal ialah legenda yang berafiliasi dengan nama tempat terjadinya gunung, bukit, danau, dan sebagainya. Misalnya, legenda terjadinya Danau Toba di Sumatra, Sangkuriang (legenda Gunung Tangkuban Parahu) di Jawa Barat, Rara Jonggrang di Yogyakarta dan Jawa Tengah, Ajisaka di Jawa Tengah, dan Desa Trunyan di Bali. - Dongeng
Dongeng ialah dongeng rakyat yang tidak benar-benar terjadi, diceritakan lantaran berisi petuah, kebaikan mengalahkan kejahatan, aliran moral, dan petuah bijak lainnya. Ada dongeng hewan (fabel) di Bali yang populer dengan nama tokoh Tantri dan di Jawa ada tokoh Si Kancil. Dongeng insan contohnya Jaka Tarub yang mencuri pakaian bidadari berasal dari Jawa Timur, dongeng Pasir Kumang dari Jawa Barat, dongeng Raja Pala dari Bali, dongeng Meraksamana dari Papua, dongeng Ande-Ande Lumut dan Brambang Bawang dari Jawa Tengah, dan dongeng Bawang Merah dan Bawang Putih dari Jakarta. Dongeng lucu, contohnya, Si Kabayan dari Jawa Barat, Gasin Meuseukin dari Aceh, dan Singa Rewa dari Kalimantan Tengah. - Upacara
Upacara ialah serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada hukum tertentu berdasarkan tabiat istiadat, agama, dan kepercayaan. Jenis upacara dalam kehidupan masyarakat, antara lain, upacara penguburan, upacara perkawinan, dan upacara ratifikasi kepala suku.
1) Upacara penguburan Upacara penguburan merupakan upacara yang dikenal pertama kali dalam kehidupan insan sebelum mengenal tulisan. Upacara penguburan menjadikan kepercayaan bahwa roh orang meninggal akan pergi ke satu tempat tidak jauh dari lingkungan di mana ia pernah tinggal semasa hidupnya. Sewaktu-waktu roh tersebut sanggup dipanggil untuk menolong masyarakat jikalau ada ancaman atau kesulitan.
2) Upacara perkawinan Upacara perkawinan dilaksanakan di tengah masyarakat semenjak dahulu hingga sekarang. Perkawinan sekaligus mempertemukan dan mengawali relasi dua keluarga yang saling bersahabat. Tiap-tiap kawasan mempunyai tabiat berbeda-beda, mirip di kawasan Minangkabau menganut garis keturunan matrilineal (garis ibu), sedangkan suku Batak, Bali, Jawa menganut garis patrilineal (garis keturunan lakilaki).
3) Upacara ratifikasi kepala suku Kedudukan kepala suku di masa kemudian ialah besar alasannya ia harus mempunyai kesaktian, keahlian, pengalaman, dan imbas yang berpengaruh lantaran kepala suku ialah pelindung kelompok sukunya dari banyak sekali ancaman. Kepala suku bahkan dianggap mahir dalam upacara pemujaan, upacara penempatan rumah, upacara pembukaan ladang, dan upacara tabiat lainnya. - Lagu-lagu daerah
Lagu-lagu kawasan atau lagu rakyat ialah syair-syair yang ditembangkan dengan irama menarik dalam bentuk lisan. Lagu rakyat dikenal dengan sebutan folksong. Lagu rakyat untuk anak-anak, misalnya, di Jawa Tengah dan Jawa Timur ialah Cublak- Cublak Suweng, Ilir-Ilir, dan Jamuran; di Jawa Barat ialah Cing Cangkeling; di Kalimantan Barat ialah lagu Cik-Cik Periok; di Bali dikenal lagu Meyong-Meyong. Lagu-lagu rakyat umum, misalnya, lagu Butet dari Batak yang dilantunkan dengan nada sedih, lagu Tenang Tanage dari Manggarai, Flores, dengan nuansa perenungan, dan lagu Kampuang nan Jauh di Mato dari kawasan Sumatra Barat. Ada pula nyanyian religius yang dipadukan dengan tarian di kawasan Aceh, yaitu Saman dan Seudati, dan di Nias ada lagu Hoho.
Sumber : kemdikbud.go.id
Tradisi Sejarah Masyarakat Indonesia Masa Praaksara dan Masa Aksara
MARKIJAR : MARi KIta belaJAR
Sumber http://www.markijar.com/