Sepanjang perjalanan bersama Ortuku di tempat-tempat wisata di Jepang, keluhan yang muncul diantaranya yaitu harga buah tangan di Jepang yang mahal. Yap! Salah satu hal yang bergotong-royong sudah tidak gres lagi buatku yaitu masalah buah tangan dari Jepang yang harganya super mahal!
Rasanya kalian juga sudah tahu kalau di Jepang itu harga barang-barangnya mahal banget. Sebagai komparasi, sayur sawi yang beratnya 200-300gr itu harganya mencapai Rp. 25.000, Yap! Aku nggak salah menambahkan nol di harga tersebut. Dengan uang yang sama di Indonesia kita sanggup mampu sawi 1kg.
Komparasi lainnya yaitu harga baju kaos yang paling normal dari segi kualitas yaitu sekitar 100.000, Itu kualitas normal, di toko-toko biasa dan made in china atau vietnam (please jangan mintak yg made in Japan :3 ), kalau dibandingkan dengan uang yang sama, di Indonesia masih sanggup mampu dua lembar baju.
Jadi kalau harga buah tangan di Jepang itu harganya mahal, maka masuk akal sekali. (Atau kalian akan bersepakat dengan saya yang berfikir kalau emang yang bermasalah itu rupiah yang terlalu murah? XD)

Baca Juga: Etika Makan Sushi di Jepang
Harga Oleh-Oleh Sangat Mahal
Tetapi nampaknya harga buah tangan di sini mahalnya sudah pada tingkat yang ekstrim, super mahal, bahkan tidak sanggup ditolerir dan sama sekali tidak berbhineka tunggal ika. XD
Bapak: Ini harganya kalau di rupiahkan berapa dek?
MH : Satu juta duaratus ribu rupiah bah..
Bapak: Ehh… Nggak salah baca kah? Coba dihitung lagi nolnya..
MH : Enggak, itu dengan harga koversi yen yang paling murah (belum pernah terjadi).
Bapak: Jepit rambut gini harganya satu juta? (sambil menunjuk sebuah jepit rambut dengan hiasan pita yang dibuat menyerupai bunga.
MH : Yap.. Inilah made in Japan…. and Welcome to Japan..
Jepit rambut yang kami lihat itu hasil karya seni dari University of Science Okayama yang dijual di Bikanchiku Area Kurashiki. Bentuknya menyerupai bross bunga rajutan dari pita, menyerupai sekali dengan yang pernah saya jual dulu pas kuliah di Malang, hanya saja kali ini materi bakunya dari pita dan bentuknya jauh lebih rapi dan indah.
Tetapi dari semuanya itu tentu saja yang membuatnya mahal yaitu label kecil bertuliskan “Made In Japan”.
Tentang Made In Japan ini saya punya teori bahwa barang-barang yang dilabelin itu, niscaya harganya dua kali lipat dari produk serupa.
Kaos oblong yang berlabel Made In Japan harganya tidak kurang dari 450rb, Jeans yang berlabel Made In Japan harganya dijamin tidak akan kurang dari 1.5juta, bahkan menyerupai yang saya bilang, jepitan rambut aja kalau udah berlabel sanggup menembus harga 1.2 juta.. Again, welcome to Japan!
Ibuk: Wih.. Wih.. Wih.. Anggurnya besar-besar dek, bagus-bagus gitu.. Beli dek!
MH : Jangan yang ini Mi, ini Premium.
Ibuk: Berapa emang harganya?
MH : Kalau di rupiahkan sekitar lima ratus ribu Mi, nah yang sana itu sekitar enam ratus lima puluh ribu. Makanya belinya nggak usah di sini.
Ibuk: Beneran segitu harganya dek?
MH : Iya beneran.. Nanti beli anggur biasa aja, agak murah, seratusan ribu udah sanggup yang agak menyerupai ini.
Itu dikala saya berkeliling sekitar penjual Anggur Muscat dan Pione di stasiun. Layaknya menyerupai apel Malang pada zamannya, dimana menjadi icon buah tangan dari kota Malang, Anggur Muscat dan Pione ini menjadi icon buah tangan dari kota Okayama bahkan Jepang.
Itulah sebabnya disebut sebagai Anggur Premium yang memang dari segi kualitas dan tampilan sangat sempurna.
Harga segitu? Jangan heran! Karena saya sendiri sudah pernah menjumpai Mangga (2 biji) dengan harga 600rb, Melon (1 buah) seharga 1.2 juta. Again, Welcome to Japan?

Baca Juga: Pengalaman Menginap di Ryokan
Why Japan? Kenapa Kok Mahal Edan?
Pertanyaan yang akan terlintas wacana betapa gilanya harga buah tangan ini yaitu “Kenapa kok semahal itu?”
Aku nggak akan menjawabnya dengan kalimat pamungkas semacam “Karena penghasilan orang di sini besar-besar”, atau mungkin “Karena uang rupiah terlalu murah nilainya”, kali ini tidak. Bahwasannya harga buah tangan ini mahal luar biasa, itu bukan hanya pendapat orang Indonesia, bahkan teman-teman dari Inggris, Perancis dan German punya komentar yang sama.
Jawaban satu-satunya kenapa harga buah tangan di Jepang ini mahal banget? Karena ada yang beli! Simpel sekali. Kaprikornus begini ceritanya….. ini salah satunya ada hubungannya dengan sistem sosial masyarakat Jepang.
Jadi dalam pergaulan sosialnya, orang Jepang itu sangat terbatas. Di wilayah kota misalnya, banyak yang tidak kenal sama sekali dengan tetangga satu apartemennya.
Di kampus juga mereka mungkin hanya bergaul dengan 5 hingga 10 orang saja, dan dikala bekerja mereka biasanya hanya kenal beberapa orang yang berafiliasi eksklusif dengan pekerjaanya.
Nah sistem pertemanan yang sangat sempit ini menciptakan mereka sanggup menilai seberapa pentingnya seseorang berperan dalam kehidupannya. Misalkan, Bos di daerah kerjanya yang senantiasa menunjukkan pujian, maka akan menjadi seseorang nomor satu yang kuat dalam kehidupannya (tentu saja sesudah pasangannya). Kemudian urutan berikutnya yaitu sahabat karib yang menunjukkan banyak pengalaman berharga, sesudah itu kerabat yang sering membuatkan pekerjaan, kemudian beberapa orang sahabat sekitar yang ditemui nyaris tiap hari (walaupun tidak terlalu berjasa), dan terakhir yaitu bulat terluar yang mereka sekedar tahu saja.
Nah… Dalam menunjukkan buah tangan (jap: Omiyage), mereka hanya hingga pada kerabat yang membuatkan pekerjaan saja. Tidak ada jatah buat orang yang sekedar kenal, walaupun ditemui setiap harinya.
Kalaupun ada buah tangan yang untuk banyak orang, biasanya berupa kuliner yang tidak terlalu mahal.
Sistem ini menciptakan orang Jepang kalau membeli buah tangan jumlahnya niscaya sedikit tetapi harganya sangat mahal. Karena buah tangan tersebut hanya akan diberikan kepada orang-orang yang berjasa atau menunjukkan efek bagi kehidupannya.
Itulah sebabnya jarang sekali ada orang Jepang yang membeli barang murahan dalam jumlah besar untuk kemudian dibagi-bagikan ke tetangga, sahabat kerja ataupun orang banyak. Mayoritas menunjukkan sesuatu hanya kepada orang-orang yang dianggap penting dalam kehidupannya.
Dalam sebuah buku berjudul “The Subtle Art of Not Giving a F*ck” karya Mark Manson yang gres saja saya baca, perilaku sosial yang semacam ini akan menciptakan kita sadar untuk sanggup menilai hal apa yang benar-benar penting dalam hidup kita. Menyadari dan melaksanakan suatu hal yang terang dampaknya bagi kehidupan kita merupakan esensi dari buku tersebut.
Sembari membaca, tentu saja saya sendiri memfilter pokok pikiran dari Mark Manson, maklum kita mempunyai latar belakang budaya sosial yang benar-benar berbeda. Well… Konsep pergaulan di Indonesia itu luas banget! Jauh sekali bedanya dengan budaya Jepang maupun western. Nggak sanggup kita katakan kalau hanya sepuluh atau dua puluh orang yang menunjukkan efek pada hidup kita. Bisa saja ratusan, bahkan ribuan.
Memperhitungkan hal ini, opsi terbaiknya yaitu menunjukkan buah tangan berupa makanan. Alasan sederhananya yaitu lantaran murah dan gampang dibagi-bagi untuk banyak orang. Tantangan utamanya yaitu akan berbagai yang membicarakan, lantaran masih banyak yang menganggap souvenir itu lebih bernilai kenangan dibandingkan makanan.
Tapi sekali lagi, mari berfikir cermat, sudah berapa banyak gantungan kunci kenang-kenangan yang kita buang? udah berapa banyak souvenir ijab kabul (super murahan) yang berakhir di tong sampah? Bukannya ini bukti faktual bahwa membawa souvenir murahan sebagai buah tangan yaitu ilham udik dan boros?
Agaknya saya akan lebih menentukan buah tangan kuliner dibandingkan souvenir. Walaupun menyerupai pengalaman sebelumnya, tak banyak yang mengapresiasi dan cenderung banyak yang menagih buah tangan souvenir (benda). Well.. Di titik itu, saya kembali lagi ke buku Mark Manson, I Don’t Give a F*ck! 😛
Sumber https://mystupidtheory.com