Random post

Friday, February 24, 2017

√ Pentingkah Mata Pelajaran Sulit Di Sekolah Dasar?



Oleh : Nadita Dewi Profita

Mulai tahun pedoman 2013/2014 kurikulum yang diberlakukan di Indonesia yakni Kurikulum 2013 atau lebih terkenal dengan sebutan Kurtilas, kurikulum ini  memang agak usang dan ketat waktu belajarnya tentu dengan segala aspeknya. Memang belum semua Sekolah melakukan kurikulum yang gres ini. Dalam kurikulum ini siswa dituntut untuk aktif dalam proses pembelajaran. Mata pelajaran yang harus diikuti pun lebih banyak dibanding sebelumnya,  sehingga menciptakan sebagian siswa kewalahan untuk mengikutinya.

Dilihat dari segi mata pelajaran, kurikulum 2013 untuk SD (SD) cukup mengejutkan. Faktanya, siswa yang masih duduk di jenjang sekolah dasar tersebut harus mengikuti banyak mata pelajaran, salah satunya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).

Sebagian orang beranggapan bahwa kurikulum ini baik untuk perkembangan siswa/i di Indonesia. Namun apa karenanya kalau murid SD tidak mengutamakan pendidikan moral dan sopan santun bagi siswanya?

Demikian pentingkah ilmu-ilmu tersebut sudah harus diberikan di jenjang sekolah yang paling dasar tersebut ? Dengan umur yang masih terbilang kanak-kanak, jiwa yang seharusnya bermain disita oleh waktu mencar ilmu yang kurang sempurna bagi pikiran mereka.

Bayangkan siswa kelas 2 SD mencar ilmu mengenai akar pangkat dalam matematika. Atau mencar ilmu sistem peredaran darah di Ilmu Pengetahuan Alam. Fakta lain menyampaikan siswa yang akan masuk SD dituntut untuk dapat membaca dan menulis terlebih dahulu. Bisa saja anak yang akan masuk ke SD tersebut telah mencar ilmu di Taman Kanak kanak (TK). Namun fungsi dari Taman Kanak-kanak itu sendiri yakni mencar ilmu bersosialisasi dengan banyak orang dari banyak sekali tempat, bukan untuk mencar ilmu menulis dan membaca. Dilihat dari penerapannya, kurikulum yang dianggap cantik itu justru menciptakan daya tangkap anak menjadi tidak pada tempatnya.

Lalu keterampilan apa yang akan mereka kuasai dan yang akan dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, mereka terlalu dipaksa untuk berpikir ajaib dengan ilmu ilmu yang harus dipelajarinya,   dimana waktu bermain untuk mereka ?

Sebagai perbandingan, kurikulum SD di Jepang dibentuk sederhana, dengan  memperkuat nilai-nilai  moral, cara menghargai diri sendiri dan orang lain, serta mengajarkan Keterampilan, Budaya dan Bahasa Nasional. Mereka juga mencar ilmu keterampilan menjahit, memasak, seni menggambar dan sebagainya. Ini terperinci bertolak belakang dengan kulikulum SD di Indonesia. Bahasa Asing di Indonesia telah dikenalkan di dingklik kelas 3 SD. Tentu ini menjadi problematika dalam asupan ilmu. Bahasa Nasional dan Bahasa Daerah terbengkalai begitu saja, dapat saja puluhan tahun kemudian Bahasa Daerah anak musnah alasannya tidak dipakai. Dan keterampilan mereka pun kurang, dalam kreatifitasnya, perjuangan untuk memakai kembali barang bekas. Yang kita tahu bahwa barang yang sudah tidak terpakai tentu akan dibuang, dan apakah membuangnya di tempat yang benar?

Siswa yang seharusnya mencar ilmu mengenai tata krama, etika, sopan santun dan lingkungan cenderung mempelajari Ilmu yang belum menjadi porsi usianya. Alhasil, cara mereka berbicara kepada guru pembimbing, sobat seusianya atau kepada orang renta tidak pada tempatnya juga. Cara memperlakukan lingkungan pun kurang baik, mereka membuang sampah di bawah meja, di kamar mandi, atau merusak tanaman. Ini terjadi alasannya ilmu berbudaya lingkungan tidak dibahas.

Logikanya, siswa yang sedang duduk di dingklik SD sedang mencari jati diri untuk pembentukan karakter, kalau sekolah tidak membantu membangun aksara itu maka menghipnotis aksara siswa tersebut di masa depan.

SD ketika ini cenderung memperhatikan ilmu pengetahuan yang rumit dengan cita-cita siswa/i dapat mengikuti mata pelajaran di jenjang berikutnya di SMP (SMP). Namun, ada yang mereka lupakan, nilai moral dan budaya. Jika sudah lulus dari tingkat SD apakah masih gampang membentuk karakter? Kemungkinannya kecil.

Sebagian besar sekolah memberi peraturan dan tata tertib yang cukup banyak, namun kalau tanpa didasari oleh kesadaran apakah dapat dipatuhi? Kembalikan ke Sekolah Dasar. SD tentu harus mendasar, bukan Menengah. Apalagi ketika ini yang sedang digembor-gemborkan yakni jadwal ‘Adiwiyata’, yaitu jadwal yang mendorong warga sekolah dalam upaya pelestarian lingkungan. Masih jarang sekolah di Indonesia yang mengikuti jadwal ini, apalagi untuk Sekolah Dasar. Hanya sebagian tempat yang mengajarkan pendidikan lingkungan hidup, namun para siswa masih belum mengerti makna dari mata pelajaran tersebut sehingga lingkungan semakin terbengkalai.
SD merupakan sekolah bermain sambil belajar,  namun tetap pada garis batasnya. Bayangkan kalau terlalu banyak bermain ketika telah tumbuh remaja karakternya menyerupai apa?

Kita tahu bahwa ketika ini tingkat kesulitan mata pelajaran semakin membebani pelajar dengan kiprah yang menggunung sehingga waktu istirahat dan berkumpul bersama keluarga semakin sempit, selain itu banyak keluhan alasannya pengeluaran biaya dari tiap tugas. Bayangkan anak SD diberi kiprah untuk menciptakan Power Point dengan bahan yang terbilang berat sehingga orang renta pun angkat bicara kepada pihak sekolah. Lalu, kalau sehabis begini siapa yang harus dinyatakan bersalah? Pada keyataannya kurikulum yang kurang baik menciptakan banyak sekali pihak merasa dirugikan.**

Profitadewinadita@gmail.com
Nadita Dewi Profita
Mahasiswa STBA YAPARI-ABA Bandung


Sumber http://naditya-blog.blogspot.com