Random post

Tuesday, February 7, 2017

√ Training Grafologi Holistik

GARIS MERUSAK DIRI
Dalam ilmu grafologi, ada jenis garis di tanda tangan yang disebut sebagai “garis merusak diri.” Ada tiga kadar ringan-beratnya “garis merusak diri” Ini, mulai dari “self demeaning,” kemudian “self defeating,” dan yang paling berat yaitu “self destructing.”
Para psikolog yang berguru grafologi kebanyakan bertanya menyerupai apakah sikap atau kecenderungan “merusak diri” ini?
Tentu ada yang gampang ditengarai, menyerupai kebiasaan jelek yang merusak badan dan kesejahteraan diri. Merokok, berjodi, melacur, makan asal yummy tanpa memperhatikan kebutuhan gizi dan kesehatan, dan tindakan-tindakan spontan lainnya yang tidak mempertimbangkan aspek lain. Itu yaitu tindakan dan dan kebiasaan yang merusak diri.
Namun banyak pula yang agak sulit terlihat oleh orang lain; apalagi kalau tindakan atau sikap itu sudah menjadi kebiasaan keluarga, budaya atau bahkan sudah menjadi tirani mayoritas. Sebagai contoh, sebagian wanita menganggap dirinya tidak bisa atau bakal kesulitan mencoba hal baru, sebab masyarakat yang patriarkis mengajarinya semenjak kecil bahwa ia tidak mampu. Sejak kecil, ia sebentar-sebentar berkata "aku nggak bisa" atau "itu hal yang sulit." Itu yaitu tanda-tanda "self defeating."
Ya, bukan hanya langsung saja yang bisa punya kecenderungan merendahkan diri sendiri. Bahkan ada budaya yang cenderung "demeaning." Banyak anak diajarkan untuk "menolak" kebanggaan dari orang lain dengan alasan biar tidak sombong. Jika ia dipuji seseorang, contohnya "Kamu arif hlo" atau "Kamu manis sekali," maka anak ini -- bahkan orang remaja -- akan menjawab "Ah tidak. Saya biasa saja." Ini bukan soal bersikap rendah hati, tetapi bagaimana menghargai dan mendapatkan penghargaan dari orang lain. Seseorang yang rasa percaya dirinya sehat akan menjawab, "Terima kasih telah menunjukkan apresiasi." Orang yang sombong yaitu mereka yang membesar-besarkan salah satu kualitas atau kuantitas dirinya sendiri dikala tidak ada orang yang mengakuinya. Ya, menolak penghargaan dan legalisasi dari orang lain itu bisa menjadi tanda-tanda mengecilkan arti diri sendiri alias self demeaning. Sering merasa kurang berguna, merasa tidak bisa menggambarkan individu ini mengecilkan makna dirinya sendiri.
Sebagian kecil tindakan dan kecenderungan itu disadari, tetapi sebagian besar malah tidak disadari. Banyak sekali pikiran tak disadari yang bersama-sama merusak diri, merusak hubungan, maupun merusak keluarga. “Suami saya niscaya nggak mau diajak,” yaitu salah satu kalimat yang sering saya dengar setiap kali saya meminta seorang ibu untuk mengajak suaminya ikut psikoterapi. Bahkan kalau dari 100 kejadian, suami Anda 99 kali menolak, berarti pernah ada 1 bencana ia menerima. Jadi, mengapa tidak mencoba dengan cara yang lebih sempurna biar ia menerima? Jangan-jangan, 99 kali ia menolak bukan sebab ia tak mau, tetapi 99 kali pula Anda mengajaknya dengan cara yang sama persis. Masih ada 14 jenis sesat pikir lain yang tanpa Anda sadari sudah merusak diri dan hubungan. (Baca notes saya perihal #LogicalFallacy ini).

CANGKANG
Seringkali hidup itu menyerupai ini: seseorang tahu bahwa ia punya masalah, ia tahu apa sumber persoalannya, dan bagaimana solusinya.
Tetapi....mereka itu bagaikan sedang naik kereta api, menengok ke jendela sebab sedang ada kereta lain lewat dan terkejut "Hlo, ternyata saya menaiki kereta yang salah. Di sebelah itu yaitu kereta yang seharusnya kunaiki." ....dan ajaibnya, mereka tidak panik dan bergegas pindah, mereka malah terus duduk di kursinya, makin menenggelamkan diri dalam sofa empuk itu sebab sekarang ditambah beban rasa menyesal. Mereka sudah terlanjur terbiasa dengan segala situasi dan keadaan di dalam kereta yang salah itu.
Memang rasanya tidak masuk logika dipukul terus menerus oleh suami atau diselingkuhi istri dan terus bertahan di dalam relasi tersebut. Bukan berarti ia tak tahu atau tak punya logika bahwa dipukul itu salah. Ia juga paham bahwa berada di dalam relasi penuh kekerasan dan pengkhianatan menyerupai itu yaitu salah. Tetapi “entah kenapa,” ia menyerupai tak berdaya untuk keluar, untuk membebaskan dirinya dari sana.
Memang tidak bahagia, tidak ada suka cita, bertahan di dalam pekerjaan yang bossnya jahat, gajinya pas-pasan, bahkan usaha menuju dan pulang kantor saja sangat berat. Hati dan jiwa rasanya ingin segera bebas merdeka, tetapi menurutnya, bertahan di dalam pekerjaan itu seolah-olah yaitu satu-satunya pilihan logis dan rasional.
Hidup seatap dengan mertua itu menciptakan hati menjadi sangat tidak nyaman. Tidak ada kemerdekaan, tak ada kemandirian. Akan tetapi, “entah mengapa” ketaknyamanan berdasarkan logika sadar itu diterima hingga belasan tahun.
Ya, mengapa situasi jelek yang kalau dipikir secara sadar memang menjadikan rasa tidak aman, tidak damai, tidak sejahtera, itu berjalan bahkan hingga bertahun-tahun? Jangan-jangan, bersama-sama menjadikan rasa nyaman dan aman? Betul. Menimbulkan rasa kondusif di bawah sadar.
Jadi? Ada pergolakan, ada pertentangan, antara kesadaran dan ketaksadaran. Secara sadar, mereka tahu bahwa situasi tersebut buruk. Namun, secara tidak sadar, mereka tidak tahu cara untuk keluar dari keadaan yang meninabobokan itu, situasi yang penuh topeng itu. Bukan hanya tidak tahu, mereka juga tidak bisa untuk keluar. Mengapa?
Karena komponen-komponen dirinya belum selaras. Ia belum mempunyai diri yang utuh, kepercayaan dirinya kurang sehat. Dengan berada di antara orang-orang yang juga belum matang yang sama-sama berada dalam suasana yang berdasarkan logika sehat bersama-sama tidak sehat itu terasa baik-baik saja.
Ya, sesekali sih mereka akan memikir bahwa situasi yang dijalaninya ini tidak enak, tetapi beberapa menit kemudian, ia sudah kembali mengikuti rutinitas tak sehat yang sudah berjalan belasan bahkan puluhan tahun itu. Tentu perlu teknik khusus untuk mengetahui apa dan bagaimana penyebab ketakselaran diri. Dan perlu intervensi-intervensi khusus pula untuk menciptakan diri menjadi selaras biar terus berkembang.
Keadaan menyerupai itulah yang tergambar dari tanda tangan yang mengandung “cangkang” atau “penjara.” Masih ada lebih dari 5000 simbol lain dalam grafologi — ilmu dan metoda mengidentifikasi dan menganalisis kepribadian seseorang berdasar tanda tangan dan goresan pena tangannya. Tetapi, grafologi holistik lebih dari sekadar membaca simbol belaka. Analisnya alias grafolog yang berguru grafologi holistik, bukan yang simbolik, akan mengintegrasikan satu simbol itu dengan aneka macam simbol lainnya, baik dari tanda tangan maupun goresan pena tangan, serta tata letaknya untuk memahami psikodinamika kepribadian kliennya atau analisannya.
Untuk memahami lebih lanjut kecenderungan ini dan ciri-ciri kepribadian lainnya, Anda sanggup mengikuti pembinaan “Certified Graphology and Handwriting Analyst” (CGA). Pelatihan grafologi ini dalam waktu akrab akan diadakan di dua kota, Bandung dan Jakarta.
Bandung, 21 – 23 Oktober 2016
Jakarta, 5, 6,12 November 2016
Untuk Bandung, hubungi @Ratna Dewanti di 0812-2313-987
dan Gregorius Tjai Ven Lie di 0899-9472-240.
Untuk Jakarta, hubungi Eveline di Meliora Learning-Academy: 0818-0828-0219.


Sumber: https://www.facebook.com/dono.baswardono1?pnref=story

Sumber http://kepodotcumi.blogspot.com