PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu perjuangan atau acara yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau berbagi sikap yang diinginkan. Sekolah sebagai forum formal merupakan sarana dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Melalui perguruan tinggi, mahasiswa berguru aneka macam macam hal.
Pendidikan di Indonesia selama ini, terlalu menekankan arti penting nilai akademik, kecerdasan otak atau IQ saja. Mulai dari tingkat sekolah dasar hingga kebangku kuliah, jarang sekali ditemukan pendidikan wacana kecerdasan emosi yang mengajarkan tentang: integritas; kejujuran; komitmen; visi; kreatifitas; ketahanan mental; kebijaksanaan; keadilan; prinsip kepercayaan; penguasaan diri atau sinergi, padahal justru inilah hal yang terpenting (Ary Ginanjar, 2001 : xli).
Proses berguru di perguruan tinggi ialah proses yang sifatnya kompleks. Banyak orang yang beropini bahwa untuk meraih prestasi yang tinggi dalam belajar, seseorang harus mempunyai Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi, lantaran inteligensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam berguru dan pada gilirannya akan menghasilkan prestasi berguru yang optimal.
Kenyataannya, dalam proses berguru mengajar di perguruan tinggi sering ditemukan mahasiswa yang tidak sanggup meraih prestasi berguru yang setara dengan kemampuan inteligensinya. Ada mahasiswa yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi tetapi memperoleh prestasi berguru yang relatif rendah, namun ada mahasiswa yang walaupun kemampuan inteligensinya relatif rendah, sanggup meraih prestasi berguru yang relatif tinggi. Itu sebabnya taraf inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang, lantaran ada faktor lain yang mempengaruhi.
Menurut Goleman (2002), kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% ditentukan oleh serumpun faktor yang disebut Kecerdasn Emosional. Dari nama tehnis itu ada yang beropini bahwa kalau IQ mengangkat fungsi pikiran, EQ mengangkat fungsi perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan berupaya membuat keseimbangan dalam dirinya, bisa mengusahakan kebahagiaan dalam dirinya sendiri dan bisa mengubah sesuatu yang jelek menjadi sesuatu yang positif dan bermanfaat (Sunar, 2010 : 50).
Dalam proses berguru mahasiswa, kedua inteligensi itu sangat diperlukan. IQ tidak sanggup berfungsi dengan baik tanpa partisipasi penghayatan emosional terhadap mata pelajaran yang disampaikan di bangku kuliah. Namun biasanya kedua inteligensi itu saling melengkapi. Keseimbangan antara IQ dan EQ merupakan kunci keberhasilan berguru mahasiswa di sekolah. Ary Ginanjar (2001 : xlvi) menegaskan bahwa kecakapan pada hakikatnya sanggup dipandang sebagai sekumpulan kebiasaan yang terkoordinasi, apa yang kita pikirkan, rasakan dan kerjakan, biar suatu kiprah terlaksana. Pendapat ini sekiranya sanggup menegaskan bahwa hakikat dari suatu kecakapan bukanlah hanya suatu pemahaman, tetapi merupakan metode internalisasi kebiasaan dan huruf
LeDoux mengemukakan bahwa lebih jauh lagi system emosi ternyata sanggup bekerja sendiri tanpa partisifasi kognitif: perasaan mempunyai kecerdasannya sendiri. Bukti ilmiah inilah yang dijadikan yang dijadikan sebagai pendukung argumentasi Goleman bahwa EQ ialah syarat utama penggunaan IQ secara efektif (Sunar, 2010 : 40)
Memang harus diakui bahwa mereka yang mempunyai IQ rendah dan mengalami keterbelakangan mental akan mengalami kesulitan, bahkan mungkin tidak bisa mengikuti pendidikan formal yang seharusnya sesuai dengan usia mereka. Namun fenomena yang ada menandakan bahwa tidak sedikit orang dengan IQ tinggi yang berprestasi rendah, dan ada banyak orang dengan IQ sedang yang sanggup mengungguli prestasi berguru orang dengan IQ tinggi. Hal ini menandakan bahwa IQ tidak selalu sanggup memperkirakan prestasi berguru seseorang.
Kemunculan istilah kecerdasan emosional dalam pendidikan, bagi sebagian orang mungkin dianggap sebagai jawaban atas kejanggalan tersebut. Teori Daniel Goleman menawarkan definisi gres terhadap kata cerdas. Walaupun EQ merupakan hal yang relatif gres dibandingkan IQ, namun EQ tidak kalah penting dari IQ. Bila IQ kita jadikan sebagai satu-satunya kecerdasan yang membuat kita berhasil, maka hal ini ialah kesalahan terbesar dalam hidup kita. Mengutip kata Robert Stenberg seorang jago dalam bidang successful Intelligences yang mengatakan: “Bila IQ yang berkuasa, ini lantaran kita membiarkannya demikian. Dan bila kita membiarkannya berkuasa, kita telah menentukan penguasa yang buruk” (Ary Ginanjar, 2001 : xl)
Penomena yang peneliti temukan berdasar hasil pengamatan, terdapat sebagian mahasiswa D III keperawatan yang kurang motivasi dalam hal belajar, menunda-nunda pekerjaan, hirau dalam hal kiprah kelompok, takut bertemu dengan dosen yang dianggapnya menakutkan, dan yang senang dengan ketidak hadiran dosen. Terbesit dalam benak peneliti sebuah pertanyaan, “mengapa hal itu bisa terjadi terhadap sebagian mahasiswa itu?”. Mungkinkah mereka kurang bisa memakai kecerdasan emosinya. Ataukah ada hal lain yang mempengaruhinya menyerupai itu.
Maka dalam kaitan pentingnya kecerdasan emosional pada diri mahasiswa sebagai salah satu faktor penting untuk menunjang keberhasilannya, baik itu dalam kesehariaanya yang dipenuhi rasa optimis untuk belajar, maupun dalam meraih prestasi akademik dan praktek klinik, maka dalam penyusunan KTI ini penulis tertarik untuk meneliti :”Gambaran Kecerdasan Emosional Mahasiswa D III Keperawatan Universitas Muhammadiyah Kota Sukabumi ”.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas peneliti merumuskan masalah sebagai berikut :
Bagaimana Gambaran Kecerdasan Emosional Mahasiswa D III Keperawatan Universitas Muhammadiyah Kota Sukabumi
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Gambaran Kecerdasan Emosional Mahasiswa D III Keperawatan Universitas Muhammadiyah Kota Sukabumi
2. Tujuan Khusus
a. Mengdentifikasi kemampuan mahasiswa mengenali emosi diri sendiri
b. Mengdentifikasi kemampuan mahasiswa mengelola emosi diri sendiri
c. Mengdentifikasi kemampuan mahasiswa motivasi diri sendiri
d. Mengdentifikasi kemampuan mahasiswa mengenali emosi orang lain (empati)
e. Mengdentifikasi kemampuan mahasiswa untuk membina kekerabatan (kerjasama) dengan orang lain
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini mempunyai beberapa manfaat, antara lain ialah :
1. Untuk instansi pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan sanggup membantu menawarkan informasi wacana pentingnya kecerdasan emosional bagi seluruh elemen terkait dalam instansi pendidikan.
2. Responden
Diharapkan dengan adanya penelitian kecerdasan emosi ini, mahasiswa bisa memakai kecerdasan emosinya dengan sebaik mungkin biar didapatkan nilai simpulan yang memuaskan.
Sebagai materi contoh untuk peneliti selanjutnya.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kecerdasan
1. Pengertian Kecerdasan
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur`an, yang artinya :
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, kemudian berfirman, “sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jikalau kau memang orang-orang yang benar” (QS Al-Baqarah, ayat 31)”
Sebenarnya kecerdasan sudah ada semenjak awal insan diciptakan, menyerupai ayat di atas mengemukakan bahwasannya Allah SWT membuat insan dengan segala gudang ilmu didalam dirinya. Sunar (2010 : 19) menyatakan bahwa insan ialah makhluk yang paling cerdas, dan Tuhan, melengkapi insan dengan komponen kecerdasan yang paling kompleks. sejumlah temuan para jago mengarah pada fakta bahwa insan ialah makhluk yang diciptakan paling unggul dan akan menjadi unggul asalkan bisa memakai keunggulannya. Kemampuan memakai keunggulan ini dikatakan oleh William W Hewitt, pengarang buku The Mind Power, sebagai faktor yang membedakan antara orang jenius dan orang yang tidak jenius di bidangnya.
Lantas, apa sesungguhnya kecerdasan itu, sebetulnya hingga ketika ini para jago pun sepertinya masih mengalami kesulitan untuk mencari rumusan yang komfrehensif wacana kecerdasan. Dalam hal ini, C.P. Chalpin (1975) menawarkan pengertian kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi gres secara cepat dan efektif. Sementara itu, Anita E. Woolfolk (1975) mengemukakan bahwa berdasarkan teori lama, kecerdasan meliputi tiga pengertian, yaitu: (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang di peroleh; dan (3) kemampuan untuk mengikuti keadaan dengan situasi gres atau lingkungan pada umumnya (Sunar, 2010 : 20).
Agus Efendi (2005 : 81) dalam bukunya Revolusi Kecerdasan Abad 21, mengemukakan bahwa berdasarkan Howard Gardner, “Kecerdasan ialah kemampuan utnuk memecahkan atau sesuatu yang bernilai bagi budaya tertentu”. Sedangkan berdasarkan Alfred Binet dan Theodore Simon, kecerdasan terdiri dari: (1) kemampuan mengarahkan pikiran atau tindakan, (2) kemampuan mengubah arah tindakan jikalau tindakan tersebut telah dilakukan, (3) kemampuan mengkritik diri sendiri
Definisi kecerdasan lain ialah definisi kecerdasan dari Piaget, menurut William H. calvin, dalam How Brain Think (bagaimana otak berfikir), Piaget mengatakan, “Intelligence is what you use when you don`t know what to do”. (Kecerdasan ialah apa yang kita gunakan pada ketika kita tidak tahu apa yang harus dilakukan). (Agus Efendi, 2005 : 83)
Menurut Agus Efendi (2005 : 85) definisi kecerdasan-kecerdasan di atas hanya merupakan contoh diantara banyaknya definisi kecerdasan. Para psikolog terbukti tidak menyepakati definisi kecerdasan tersebut. Bahkan, berdasarkan Stenberg, aneka macam riset menandakan bahwa budaya yang berbeda mempunyai konsepsi wacana kecerdasan yang berbeda pula. Lebih jauh, ketika menjelaskan definisi kecerdasan dari para jago (expert definition), menyerupai telah dijelaskan di atas-yakni ketika pada tahun 1921, 14 psikolog terkenal diminta oleh editor the Journal of Educational Psychologi untuk menawarkan pandangan mereka mengenai apa itu kecerdasan. Stenberg mengungkapkan definisi mereka bahwa kecerdasan adalah: (1) kemapuan untuk berguru dari pengalaman, (2) kemampuan untuk beradaftasi dengan lingkungan sekitar (suurounding environment). Dua jenis kemampuan ini merupakan dua tema yang penting menurutnya, kemampuan utnuk berguru dari pengalaman itu mengimplikasikan, misalnya, bahwa orang cerdas ialah mereka yang bukan saja melaksanakan kesalahan tapi juga mereka yang berguru dari kesalahan dan tidak melakukannya lagi.
Kesimpulannya, bahwa kecerdasan itu merupakan suatu kemampuan untuk berguru dari keseluruhan pengetahuan dan kemampuan untuk beradaptsi dengan cepat dan efektif dengan situasi dan lingkungan yang gres
2. Macam – Macam Kecerdasan
Menurut Agus Efendi (2005 : 5) bahwa insan ialah makhluk yang dianugrahi potensi kecerdasan tidak terbatas, berkat otaknya yang banya seberat satu setengah kilogram, sehingga disebut the 3-pound universe, meskipun kecerdasan insan tidak terbatas, namun banyak jago atau penulis buku menyebut aneka macam jenis kecerdasan. Inilah sederetan kecerdasan tersebut:
a. Intelligence Quotient (Kecerdasan Intelektual)
b. Multiple Intelligence (Kecerdasan Majemuk). Menurut Howard Gardner, kecerdasan ini mencakup, Linguistik Intelligence (Kecerdasan Berbahasa), Logico-Mathematical Intelligence (Kecerdasan Logis-Matematis), Visual-Svatial Intelligence (Kecerdasan Visual-Spasial), Bodily-Kinesthetic Intelligence (Kecerdasan Kinestetik), Musical Intelligence (Kecerdasan Musik), Interpersonal Intelligence (Kecerdasan Antarpibadi), Intrapersonal Intelligence (Kecerdasan Intrapersonal), dan Natural Intelligence (Kecerdasan Natural)
c. Practical Intelligence (Kecerdasan Praktis)
d. Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosi)
e. Entrepreneurial Intelligence (Kecerdasan Berwiraswasta)
f. Financial Intelligence (Kecerdasan Finansial)
g. Adversity Qoutient (Kecerdasan Adversitas)
h. Aspiration Intelligence (Kecerdasan Aspirasi)
i. Power Intelligence (Kecerdasan Kekuatan)
j. Imagination Intelligence (Kecerdasan Imajinasi)
k. Intuition Intelligence (Kecerdasan intuitif)
l. Moral Intelligence (Kecerdasan Moral)
m. Spiritual Intelligence (Kecerdasan Spiritual)
n. Succesful Intelligence (Kecerdasan Kesuksesan)
o. DLL
Manusia ialah sekaligus makhluk jasadiah dan ruhaniah. Sebagai makhluk jasadiah, insan akan mati. Tidak demikian sebagai makhluk ruhaniah, menyerupai ditegaskan oleh Wan Mohd Nor Wan Daud, dalam filsafat dan praktek pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas (2003 : 94), walaupun diciptakan, ruh insan itu tidak mati dan selalu sadar aka dirinya. Ia ialah daerah bagi segala sesuatu yang intelijibel dan dilengkapi dengan fakultas yang mempunyai sebutan berlainan dalam keadaan yang berbeda, yaitu ruh (ruh), jiwa (nafs), hati (qolb), dan intelek (aql). Setiap sebutan ini mempunyai 2 makna, yang satu merujuk pada aspek-aspek jasad ataupun kebinatangan yang satu lagi pada aspek keruhaian. (Agus Efendi, 2005 : 2)
Dalam pembahasan macam-macam kecerdasan ini, peneliti akan membahas 3 macam kecerdasan, yaitu: (1) Kecerdasan Intelektual “IQ”, Kecerdasan Emosional “EQ”, dan (3) Kecerdasan Spiritual “SQ”. Mengapa peneliti hanya membahas ke tiga aspek ini saja. Karena menyerupai yang telah dijelaskan Agus Efendi dalam (Wan Mohd Nor Wan Daud, dalam Syed M. Naquib Al-Attas (2003 : 94)), bahwa insan teridiri dari aspek ruh, hati; dalam pembahasan ini ruh dan hati masuk kedalam kategori kecerdan spiritual, aspek jiwa; dalam pembahasan ini masuk ke dalam kategori kecerdasan emosional, dan aspek intlektual; masuk pada pembahasan kecerdasa intelektual. Ketiga aspek kecerdasan ini saling berkaitan antara kecerdasan satu dengan kecerdasan yang lainnya.
Selanjutnya peneliti akan membahas ke tiga aspek kecerdasan tersebut dan akan lebih menegaskan pada aspek kecerdasa emosional. Sebagai berikut:
a. IQ (Intelectual Quotient)
memasuki era ke-20 kita mengenal sebuah istilah popular yang berkaitan dengan kecerdasan IQ (Intelligence Quotient). kini ini hampir sulit menemukan ada istilah lain selain IQ yang demikian sangat mensugesti seseorang dalam memandang diri mereka sendiri dan orang lain. Adalah psikolog kebangsaan Prancis, Alfred Binet, yang pada tahun 1905menyusun suatu test kecerdasan terstandarisasi untuk pertama kalinya.
Kecerdasan intelektual (IQ) merupakan kemampuan untuk memecahkan masalah secara logis dan akademis. Kecerdasan intelektual (IQ) bekait dengan keterampilan seseorang menghadapi problem teknikal dan intelektual.
b. EQ (Emotional Quotient)
Penjelasan wacana EQ, akan dijelaskan pada pecahan ketiga dari BAB ini.
c. SQ (Spiritual Quotient)
“Desakan gres yang terkenal diseluruh dunia untuk berbagi kekuatan kecerdasan spiritual telah tiba pada waktu yang sempurna lantaran dunia ketika ini sering tidak salah jikalau disebut menderita sakit rohaniah.” Begitu kata Tony Buzan dalam The Power of Spiritual Intelligence (2003: xx1). ketika menjawab pertanyaa apa sesungguhnya makana kata spirit dan spiritual. Tony Buzan menjawabnya bahwa konsep keseluruhan wacana spirit berasal dari bahasa latin spiritus, yang berarti napas. Dalam duna modern, kata itu merujuk ke energi hidup dan kesesuatu dalam diri kita yang bukan fisik, termasuk emosi dan karakter. ini juga meliputi kualitas-kualitas vital menyerupai energy, semangat, keberanian, dan tekad. kecerdasan spiritual tegas Buzan, terkait dengan cara menumbuhkan dan berbagi kualitas-kualitas tersebut. (Agus Efendi, 2005: 206)
SQ ialah kemudahan yang berkembang selama jutaan tahun yang memungkinkan otak untuk menemukan dan memakai makna dalam dalam memecahkan persoalan. utamanya problem yang menyangkut masalah eksistensial, yaitu ketika seseorang pribadi terpuruk, terjebak oleh kebiasaan, kekhawatiran dan masalah masa kemudian jawaban penyakit dan kesedihan (Sunar, 2010 : 249)
Agus Efendi mengutip definisi SQ berdasarkan Zohar dan Marshall (2000: 11) “SQ ialah kecerdasan yang tidak bergantung pada budaya dan nilai; kecerdasan yang mendahului seluruh nilai spesifik dan budaya manapun; kecerdasan yang membuat agama menjadi mungkin tapi tidak bergantung pada agama; kecerdasan yang bisa menjawab pertanyaan mengenai makna.”
B. Emosi
1.Pengertan Emosi
Dalam bukunya Revolusi Kecerdasan Abad 21, Agus Efendi (2005 : 171) Emosi ialah salah satu dari yang oleh para Psikolog disebut dengan trilogi mental yang terdiri dari kognisi, emosi dan motivasi. Akar kata emosi ialah movere , kata kerja Bahasa Latin yang berarti “menggerakan, bergerak”, ditambah awalan “e-” untuk member arti “bergerak menjauh”, ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal yang mutlak dalam emosi (1998 : 7).
Dalam buku terkenalnya Emotional Intelligence (1998 : 441), Goleman menyampaikan bahwa dalam makna yang paling harfiah, Oxford English Dictionary mendefinisikan kata emosi dengan “Setiap acara atau pegolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap”
Sedangkan berdasarkan Robert K. Cooper dan Ayman Sawaf, dalam bukunya Excutive EQ (1996 : xii-xiii). Kata emotion bisa didefinisikan dengan gerakan (movement), baik secara metaforsis maupun literal, kata emotion ialah kata yang menandakan gerak perasaan. Dengan begitu berdasarkan mereka, kecerdasan emosionallah yang lebih memotivasi kita untuk mencari potensi kita sendiri; untuk mencapai tujuan unik kita; yang mengaktifkan nilai-nilai dan aspirai-aspirasi kita yang paling dalam dari apa yang kita pikirkan (what whe think abaout). Menurut mereka, sudah sekian usang emosi dipandang sebagai kedalaman (depth) dan kekuatan (power). oleh lantaran itu pula, dalam Bahasa Latin, kedalaman dan kekuatan itu disebut dengan motus anima yang artinya “the spirit that move us”, jiwa yang menggerakan kita.
Daniel Goleman sendiri mempunyai daftar emosi yang relative lengkap, yang oleh Kartajaya dikatakan representatif. Daftar emosi tersebut ialah sebagai berikut :
a. Amarah : beringas, mengamuk, benci, murka besar, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, kekerasan, kebencian patologis.
b. Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengsihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, defresi berat.
c. Rasa takut : cemas, takut, gugup, khawatir, waswas, perasaan takut sekali, khawatir, waspada, sedih, tidak tenang, nyeri, takut sekali, hingga dengan paling parah fobia dan panik.
d. Kenikmatan : gembira, bahagia, ringan puas, riang, senagn, terhibur, bangga, kenikmatan indarwi, takjub, rasa terpesona, rasa puas, rasa terpenuhi, kegirangan luar biasa, senang, senang sekali, hingga yang eksterm mania.
e. Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, kasih.
f. Terkejut : shok, terkesiap, takjub, terpana.
g. Jengkel : hina, jijik, muak, benci, tidak suka, mau muntah, tidak yummy perasaan.
h. Malu : rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib, hati hancur lebur, perasaan duka atau dosa yang mendalam.
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa semua emosi berdasarkan Goleman intinya ialah dorongan untuk bertindak. Kaprikornus aneka macam macam emosi itu mendorong individu untuk menawarkan respon atau bertingkah laris terhadap stimulus yang ada. Dalam the Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara filsafat wacana kebajikan, huruf dan hidup yang benar, tantangannya ialah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan mempunyai kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu sanggup dengan gampang menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan (Goleman, 2002 : xvi).
Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 65) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri, karam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu mempunyai kecerdasan emosional biar menimbulkan hidup lebih bermakna dan tidak menimbulkan hidup yang di jalani menjadi sia-sia.
Berdasarkan uraian tersebut, sanggup disimpulkan bahwa emosi ialah suatu perasaan (afek) yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laris terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya
C. Kecerdasan Emosional
1. Pengertian Kecerdasan Emosional
Orang yang pertama kali memakai istilah kecerdasan emosional ialah Peter Salovey dan John Mayer. Kemudian Danil Golemanlah yang mengkajinya secara mendalam dari banyak hasil riset mengenainya (Agus Efendi, 2005 : 164)
Danil Goleman, dalam karyanya Working With Emotional Intelligence (1995 : 512-514). Mendefinisikan kecerdasan emosional dengan “… Kemampuan mengenali diri kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain”. Sedangkan Cooper dan Sawaf, dalam bukunya Excutive EQ (1977), juga mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai “Kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif mengaplikasikan kekuatan serta kecerdasan emosi sebagai sebuah sumber energi manusia, informasi, kekerabatan dan pengaruh” (Agus Efendi, 2005 : 171-172)
Salovey dan Mayer (1997), dalam (Sunar, 2010 : 138) mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ sebagai “Kemampuan untuk memproses informasi emosional, lebih khusus lagi kemampuan untuk mengenali makna emosi dan kekerabatan mereka, serta bisa untuk alasan dan memecahkan masalah atas dasar mereka”.
Sedagkan Hein, dalam (Sunar, 2010 : 138) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai “bisa tahu bagaimana memisahkan perasaan sehat dari yang tidak sehat dan bagaimana mengubah perasaan negative menjadi positif”.
Kecerdasan emosi merupakan kemampuan seseorang mengaktifkan nilai-nilai yang paling dalam, mengubahnya dari sesuatu yang difikirkan menjadi sesuatu yang menyentuh rasa. Emosi ini biasanya ada di hati. Hati ialah sumber energi, keberanian dan semangat, integritas dan komitmen. Hati itu juga sumber energi dan perasaan mendalam yang menuntut kita belajar, membuat kerjasama, memimpin, dan melayani. Hati nurani akan menjadi pembimbing terhadap sesuatu yang harus ditempuh dan sesuatu yang diperbuat. Artinya insan sebetulnya telah mempunyai sebuah radar hati sebagai pembimbingnya (Ary Ginanjar, 2001 : xliii)
Gardner dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind (Goleman, 2000 : 50-53) menyampaikan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional.
Menurut Gardner, kecerdasan pribadi terdiri dari :”kecerdasan antar pribadi yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja pundak membahu dengan kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intra pribadi ialah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut ialah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk memakai modal tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif.” (Goleman, 2002 : 52).
Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti kecerdasan antar pribadi itu meliputi “kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan sempurna suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain.” Dalam kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia mencantumkan “akses menuju perasaan-perasaan diri seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku”. (Goleman, 2002 : 53).
Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey (Goleman, 200 : 57) menentukan kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional ialah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina kekerabatan (kerjasama) dengan orang lain.
Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional ialah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, tenggang rasa dan keterampilan sosial.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional ialah kemampuan mahasiswa untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina kekerabatan (kerjasama) dengan orang lain.
2. Komponen Kecerdasan Emosional
Goleman mengutip Salovey (2002:58-59) menempatkan menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar wacana kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu :
a. Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para jago psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 64) kesadaran diri ialah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran wacana suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi gampang larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu gampang menguasai emosi.
b. Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan biar sanggup terungkap dengan sempurna atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga biar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau usang akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002 : 77-78). Kemampuan ini meliputi kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk berdiri dari perasaan-perasaan yang menekan.
c. Memotivasi Diri Sendiri
Presatasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti mempunyai ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri (Goleman, 2002: 100)
d. Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman (2002 :57) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, memperlihatkan kemampuan tenggang rasa seseorang. Individu yang mempunyai kemampuan tenggang rasa lebih bisa menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih bisa mendapatkan sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih bisa untuk mendengarkan orang lain.
Rosenthal dalam penelitiannya memperlihatkan bahwa orang-orang yang bisa membaca perasaan dan aba-aba non verbal lebih bisa menyesuiakan diri secara emosional, lebih populer, lebih gampang beraul, dan lebih peka (Goleman, 2002 : 136). Nowicki, jago psikologi menjelaskan bahwa belum dewasa yang tidak bisa membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa putus asa (Goleman, 2002 : 172). Seseorang yang bisa membaca emosi orang lain juga mempunyai kesadaran diri yang tinggi. Semakin bisa terbuka pada emosinya sendiri, bisa mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.
e. Membina Hubungan
Kemampuan dalam membina kekerabatan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002 : 59). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami cita-cita serta kemauan orang lain.
Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina kekerabatan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan lantaran bisa berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini terkenal dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan lantaran kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002 :59). Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain sanggup dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa bisa membina kekerabatan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya kekerabatan interpersonal yang dilakukannya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis mengambil komponen-komponen utama dan prinsip-prinsip dasar dari kecerdasan emosional sebagai faktor untuk berbagi instrumen kecerdasan emosional
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi
a. Faktor Internal.
Faktor internal ialah apa yang ada dalam diri individu yang mensugesti kecerdasan emosinya. Faktor internal ini mempunyai dua sumber yaitu segi jasmani dan segi psikologis. Segi jasmani ialah faktor fisik dan kesehatan individu, apabila fisik dan kesehatan seseorang sanggup terganggu sanggup dimungkinkan mensugesti proses kecerdasan emosinya. Segi psikologis meliputi didalamnya pengalaman, perasaan, kemampuan berfikir dan motivasi.
b. Faktor Eksternal.
Faktor ekstemal ialah stimulus dan lingkungan dimana kecerdasan emosi berlangsung. Faktor ekstemal meliputi: 1) Stimulus itu sendiri, kejenuhan stimulus merupakan salah satu faktor yang mensugesti keberhasilan seseorang dalam memperlakukan kecerdasan emosi tanpa distorsi dan 2) Lingkungan atau situasi khususnya yang melatarbelakangi proses kecerdasan emosi. Objek lingkungan yang melatarbelakangi merupakan kebulatan yang sangat sulit dipisahkan (Yuli`s Blog, 2009)
4. Karakteristik Kecerdasan Emosional Tinggi dan Rendah
Steven Hein (dalam www.EQI.org, 2002) membedakan individu dengan kecerdasan emosional tinggi dan rendah. Ia juga mengkarakteristikkan orang yang mempunyai Emotional Intelligence tinggi dan rendah atas cirri yang khas, yaitu :
a. Ciri-ciri individu dengan tingkat Emotional Intelligence yang tinggi :
1) Mampu untuk melabelkan perasaannya daripada melabelkan perasaan orang lain ataupun situasi.
2) Mampu membedakan mana yang pikiran dan mana yang merupakan rasa.
3) Bertanggung jawab terhadap rasa.
4) Menggunakan rasa mereka untuk membantu dalam membuat suatu keputusan.
5) Respek terhadap apa yang dirasakan oleh orang lain.
6) Bersemangat dan tidak gampang marah.
7) Mengakui rasa orang lain.
8) Berupaya untuk memperoleh nilai-nilai positif dari emosi yang negative.
9) Tidak bertindak otoriter, menggurui ataupun memerintah
b. Ciri-ciri individu dengan tingkat Emotional Intelligence yang rendah :
1) Tidak berani bertanggung jawab terhadap rasa yang dimiliki, tetapi lebih menyalahkan orang lain terhadap hal yang terjadi pada dirinya.
2) Berlebihan ataupun menekan rasa yang dimilikinya.
3) Cenderung menyerang, menyalahkan, menilai orang lain.
4) Merasa tidak nyaman apabila berada disekitar orang lain.
5) Kurang mempunyai rasa empati.
6) Cenderung kaku, kurang fleksibel, cenderung membutuhkan suatu hukum yang sistematis biar merasa nyaman.
7) Menghindari tanggung jawabnya dengan menyatakan tidak ada pilihan lain.
8) Pesimistis dan cenderung menganggap dirinya ini adil.
9) Sering merasa kurang dihargai, kecewa, cuek atau merasa jadi korban.
5. Hubungan Otak Emosional dengan Prestasi
Menurut Agus Efendi (2005: 183), kecerdasan emosional ialah kecerdasan yang sangat diharapkan untuk berprestasi. Meskipun, menyerupai dikatakan Goleman, kita dihentikan melupakan kiprah motivasi positif dalam mencapai prestasi. Motivasi positif itu berupa kumpulan perasaan antusiasme, gairah dan keyakinan diri. Kesimpulan in ditunjukan oleh hasil aneka macam studi terhadap para atlet Olimpiade, musikus kelas dunia, dan para grand master catur yang menandakan adanya cirri yang serupa pada mereka. Cirri serupa itu berupa kemampuan memotivasi diri untuk tak henti-hentinya berlatih secara rutin.
Keuntungan suplemen atas sukses dalam kehidupan yang didorong oleh motivasi, selain lantaran kemampuan bawaan lainnya, sanggup dilihat pada unjuk kerja yang menakjubkan oleh mahasiswa-mahasiswa Asia yang berguru disekolah-sekolah Amerika serta diberbagai bidang pekerjaan. “… kita termotivasi oleh perasaan antusiasme dan kepuasan pada apa yang kita kerjakan. Atau, bahkan kadar optimal kecemasan emosi-emosi itulah yang mendorong kita untuk berprestasi. Dalam arti inilah kecerdasa emosional merupakan kecakapan utama, kemampuan yang secara mendalam mensugesti semua kemampuan lainnya, baik memperlancar maupun menghambat kemampuan-kemampuan itu,” tulis Goleman (1998: 112).
D. Pengertian Mahasiswa
Menurut Susantoro (Rahmawati, 2006) mahasiswa merupakan kalangan muda yang berumur antara 19 hingga 28 tahun yang memang dalam usia tersebut mengalami suatu peralihan dari tahap remaja ke tahap dewasa. Sosok mahasiswa juga kental dengan nuansa kedinamisan dan sikap kenyataan objektif, sistematik dan rasional. Kenniston (Rahmawati, 2006) menyampaikan bahwa mahasiswa (youth) ialah suatu periode yang disebut dengan “studenthood” yang terjadi hanya pada individu yang memasuki post secondary education dan sebelum masuk ke dalam dunia kerja yang menetap. Berbeda dengan pendapat yang telah dikemukakan oleh dua jago tersebut di atas, Visi Pelayanan Mahasiswa menyebutkan bahwa mahasiswa ialah seseorang yang sedang mempersiapkan diri dalam keahlian tertentu dalam tingkat pendidikan tinggi.
Mahasiswa mempunyai kiprah penting sebagai distributor perubahan (agent of change) bagi tatanan kehidupan yang secara realistis dan logis diterima oleh masyarakat (Chaerul, 2002). Sejalan dengan pendapat Chaerul, Kartono (Rahmawati, 2006) menyebutkan bahwa mahasiswa merupakan anggota masyarakat yang mempunyai ciri-ciri tertentu antara lain:
1) Mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk berguru di perguruan tinggi sehingga sanggup digolongkan sebagai kaum intelegensia.
2) Mahasiswa diharapkan nantinya sanggup bertindak sebagai pemimpin masyarakat ataupun dalam dunia kerja.
3) Mahasiswa diharapkan sanggup menjadi daya aktivis yang dinamis bagi proses modernisasi.
4) Mahasiswa diharapkan sanggup memasuki dunia kerja sebagai tenaga yang berkualitas dan profesional.
Ditinjau dari kepribadian individu mahasiswa merupakan suatu kelompok individu yang mengalami proses menjadi orang remaja yang dipersiapkan atau mempersiapkan diri dalam sebuah perguruan tinggi dengan keahlian tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ary Ginanjar. 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual. Jakarta: Penerbit Arga
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta
Dhafir, M.Pd, H. Drs. Syarqawi. 2007. Pedoman Penulisan Paper Niha`ie. Sumenep, Madura: Al-Amien Printing
Efendi, Agus. 2005. Revolusi Kecerdasan Abad 21. Bandung: Alfabeta (Anggota IKAPI)
Goleman, D. 2002. Emotional Intelligence. Jakarta: Gramedia
Hidayat, A. Aziz Alimul. 2007. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika
Kecerdasan Emosional. http://nadhirin.blogspot.com. Diakses Tanggal 30 Juni 2009
Kecerdasan Emosi Menurut Daniel Goleman. Yuli`s Blog.com. Diakses tanggal 19 Oktober 2009
Notoatmodjo, Soekidjo, Prof. Dr. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Pengertian Mahasiswa. Sutisna.Com.htm. Diakses Tanggal 09 November 2010
Psikologi Malang. http://psychologyclub.web.id. Diakses Tanggal 05 Desember 2009
Sunar P, Dwi. 2010. Edisi Lengkap Tes IQ, EQ dan SQ. Jogjakarta: FlashBooks