Random post

Monday, July 9, 2018

√ Kesetimbangan Media Massa Di Kala Internet


Salah satu hal yang mulai saya tinggalkan di dunia maya ialah menghabiskan waktu untuk membaca berita-berita di media massa Indonesia. Bagaimanapun ramainya laman Facebook dengan berita-berita di media massa yang di-share teman-teman di Facebook, tidak akan bisa menggerakkan jariku untuk menekan tombol klik. Sebab menurutku kebanyakan media massa online telah menjadi tumpul dan bodoh. 





Aku tumbuh dan besar di Kalimantan, memang tak banyak koran maupun media massa yang dijual di sana. Trend membaca surat kabar juga masih sangat minim. Satu-satunya majalah yang menjadi langganan keluarga ialah Majalah Hidayatullah. Itu Abah yang menginvestasikan uangnya untuk membeli majalah tersebut dan mungkin hanya ia yang membacanya, atau malah enggak juga, hanya sekedar menyumbangkan uang untuk usaha media Islam Hidayatullah.





Maraknya pemberitaan media online yang tidak berimbang dan judul-judul yang hanya click-bait, saya jadi terpikirkan, “Mengapa media online jadi ibarat itu?”. Media-media besar sekelas Komp4s, D3tik, bahkan SeNN yang pembaca hariannya mungkin puluhan juta, seringkali menarik hati pembacanya dengan berita-berita yang click-bait ataupun tak berimbang. 





Salah satu hal yang mulai saya tinggalkan di dunia maya ialah menghabiskan waktu untuk memb √ Kesetimbangan Media Massa di Era Internet
Gambar di atas ialah dari laman informasi terkemuka di Indonesia. 




Judul memuat “Lion Air” yang memang sedang booming akhir-akhir ini, kemudian kata “presenter cantik” menyasar perjaka yang hobinya lihat wajah presenter, dan isi artikelnya sama sekali tidak berkualitas dan tentu tidak bekerjasama dengan Lion Air. Ini ialah satu tumpuan dari ribuan atau jutaan usang media online yang tujuannya hanya supaya di klik oleh pembacanya. Click Bait!





Tetapi semuanya ini, hanya lantaran media-media online tersebut tidak punya harga diri? Sehingga pergi melacurkan informasi setiap harinya? Atau mungkin ada alasan logis lain?





Kesetimbangan Media Cetak





Media cetak menghabiskan banyak uang untuk asset-asset benda, ibarat mesin percetakan, gudang, kertas dan aneka macam peralatan lainnya. Hasilnya ialah 16halaman koran, atau 40halaman majalah, yang setiap rubriknya melalui seleksi dan pemilihan yang terbaik. 





Karena terbatasnya 16 halaman tersebut, maka goresan pena yang disajikan oleh media cetak mempunyai kualitas yang terbaik, dan memuat informasi yang benar-benar ‘sesuatu’. 





Media cetak yang gagal menawarkan kedua hal tersebut akan tersingkir. Sebab pembacanya mengeluarkan uang untuk membelinya, jikalau informasinya tidak berkualitas atau bukanlah ‘sesuatu’ maka orang akan kecewa dan meninggalkannya. 





Semakin ditinggalkan, semakin sepi pembaca, artinya semakin kecil pula kemungkinan mendapatkan periklanan. Selama mereka tidak bekerja keras mengembalikan mutu beritanya menjadi yang terdepan, perusahaan mereka bisa tutup. 





Dengan bagan tersebut media cetak otomatis menempatkan pembacanya di posisi yang tinggi. Sebab pembacanya punya tolak ukur dan standard. Uang tidak akan keluar dari saku pembaca jikalau media cetak tidak berkualitas, di ketika yang sama, uang juga tidak akan keluar dari saku pengiklan.





Pembaca membeli informasi dari media cetak, sedangkan pengiklan membeli waktu pembaca melalui media cetak. Artinya media cetak mempunyai dua bisnis, jualan informasi kepada pembaca dan jualan waktu pembacanya kepada pengiklan. Tentu saja mereka ingin mengambil sebanyak mungkin waktu pembacanya, supaya sanggup menjaring lebih banyak pengiklan. Tetapi lebih banyak waktu yang ingin dijaring, berarti lebih banyak halaman yang harus dicetak, artinya lebih mahal lagi biaya produksi yang harus dikeluarkan, dan lebih mahal harga yang harus dibayar pembacanya. Dengan begitu media cetak menghargai waktu dan pikiran pembacanya. 





Kesetimbangan media cetak diperoleh lantaran pembacanya punya nilai tawar di depan Perusahaan Media, mereka ialah pembeli, wajib diberikan yang terbaik. 





Ketidak-setimbangan Media Online





Sekarang kita bandingkan dengan media online. Persis ibarat blog ini, media online hanya perlu mempunyai asset intelektual untuk menjalankan bisnisnya. Platform Online menciptakan publikasi jauh lebih mudah, murah dan cepat. Murahnya publikasi online jikalau dibandingkan dengan publikasi cetak, mempunyai perbandingan yang logaritmik. 





Oleh lantaran itu publikasi media online tidak terbatas pada 16 ataupun 40 halaman saja. Tetapi bisa mencapat ribuan halaman perharinya. Semua tergantung kekuatan penulis media tersebut. 





Artikel yang tampil tidak lagi tersaring baik dari kualitasnya maupun level pentingnya. Publikasikan saja, toh tidak akan menambah biaya produksi secara signifikan, nanti juga ada pembacanya. 





Semakin banyak artikel, maka semakin banyak pembaca yang terjaring. Semakin banyak pembaca terjaring semakin banyak pengiklan yang membayar dan pundi-pundi uang akan masuk. 





Pembaca media online tidak mengeluarkan uang untuk membeli informasi. Oleh hasilnya pembaca jarang melaksanakan evaluasi terhadap goresan pena dan informasi yang ada. Pun tidak ada rasa ketidak puasan terhadap sebuah informasi dan tulisan, lantaran mereka merasa tidak mengeluarkan sepeserpun untuk mendapatkannya. 





Dengan bagan ini, media online bisa saja menempatkan pembacanya pada posisi yang terendah, ibarat pengemis informasi. Mereka berikan banyak informasi tapi nilainya recehan, dihamburkan berserakan di depan pembaca. Kira-kira ibarat itulah gambarannya. 





Pembaca tiba untuk mengemis informasi ke media online, sedangkan pengiklan tiba untuk membeli waktu pembaca melalui media online. Artinya media online hanya mempunyai satu bisnis, menjual waktu pembacanya kepada pengiklan. Oleh lantaran itu mereka akan mengambil sebanyak mungkin waktu pembacanya. 





Media online mempublish bermacam-macam informasi seburuk apapun kualitasnya, setidak penting apapun informasinya. Asalkan pembacanya menghabiskan waktu di platform medianya. Sebab mengambil waktu pembacanya tidak lagi menambah biaya produksi, dan lagi pembacanya menerimanya secara cuma-cuma. 





Secara sederhana, pembaca telah membiarkan media online untuk merampas waktunya, kemudian menjualnya kepada pengiklan. Sebagai gantinya, media online menawarkan informasi receh kepada pembaca, lantaran toh mereka cuman pengemis informasi. 





Ketidak-setimbangan media online ini terjadi ketika pembaca tidak lagi menghargai waktunya dan tak bisa menilai informasi yang dibacanya.





Kalau kalian teliti, blog ini juga memakai periklanan sebagai sumber dananya. Oleh hasilnya kalau kalian saya suguhi goresan pena yang receh, yah maklum aja, kan kalian nggak bayar. 😛 





Kesetimbangan Media Online





Bagaimana-pun, kita tak mungkin kembali ke masa-masa media cetak. Sebab media online juga mempunyai jauh lebh banyak kelebihan. 





Melihat kesetimbangan media ini, nampaknya beberapa media online mencoba memunculkan kesetimbangan media online. Mereka ingin mengembalikan nilai tawar dari pembacanya. Caranya? Pembaca harus membayar!





Yap! Jika pembaca membayar, maka media online kembali mempunyai dua bisnis. Yakni menjual informasi kepada pembaca dan menjual waktu pembaca kepada pengiklan. Dengan kembalinya transaksi antara pembaca dengan media, maka diperlukan kesetimbangan media online bisa tercapai. 





Jika pembaca harus membayar untuk bisa mendapatkan informasi dari media online, maka otomatis setiap pembaca akan menakar kualitas dan level pentingnya informasi yang disajikan sebuah media online. Ketika media online gagal memenuhi dua kriteria tersebut, pembaca akan pergi, pengiklan-pun akan pergi. Artinya media online harus menyajikan informasi yang terbaik dan benar-benar penting supaya pembaca dan pengiklannya tidak lari.





Namun tampaknya perjalanan ke arah sana masih sangat jauh, sehingga media-media online besar masih memakai model donasi. Artinya pembaca yang mempunyai uang banyak akan berdonasi demi berjalannya sebuah media online tanpa imbas pengiklan. 





Tetapi pada dasarnya, harus ada perubahan model bisnis dari sebuah media online supaya tidak sepenuhnya bergantung pada dana pengiklan. Sebab jikalau satu-satunya sumber dana ialah periklanan, maka ibarat yang saya katakan sebelumnya, mereka akan mengambil sebanyak mungkin waktu pembacanya untuk dijual kepada pengiklan. Dan dalam perjalanannya itu mereka akan memenuhi isi kepala pembacanya dengan informasi sampah. 





Terakhir, pengiklan yang saya sebutkan bisa saja berupa partai politik, politikus dan bahkan instansi pemerintah yang merasa perlu untuk menuntun opini publik.





Thanks for reading. Bebas share!



Sumber https://mystupidtheory.com