Random post

Friday, August 3, 2018

√ Kebodohan Akhir Micin Telah Diramalkan Oleh Ilmuwan Muslim Ratusan Tahun Silam

Sebelum saya memulai diskusinya, mungkin sudah banyak sekali yang membaca terkait imbas micin pada kecerdasan, atau mungkin ada yang sudah membaca juga artikel bantahannya dengan klaim (saintifik). Terlepas dari apakah ini benar dalam kajian sains atau tidak, kasus kebodohan tanggapan micin telah diramalkan oleh ilmuwan muslim ratusan tahun silam. Bagaimana pendapatnya? Mari kita kaji bersama di bawah ini:


Ibnu Khaldun of Tunisia


Pada 27 May 1332 lahirlah seorang ilmuwan muslim berjulukan Abu Zayd ‘Abd Ar-Rahman ibn Muhammad Ibn Khaldun Al-Hadrami, atau yang lebih dikenal di dunia barat dengan sebutan Ibn Khaldun. Ia lahir di tengah keluarga yang berkemampuan dan mempunyai posisi yang terhormat.


 mungkin sudah banyak sekali yang membaca terkait imbas micin pada kecerdasan √ Kebodohan Akibat Micin Telah Diramalkan Oleh Ilmuwan Muslim Ratusan Tahun Silam
Ilmuwan-Muslim-Ibnu-Khaldun-uang


Berada pada keluarga yang terpandang membuatnya gampang untuk mendapat pendidikan dari pemikir-pemikir jago di masanya. Masa kecilnya diawali dengan pelajaran-pelajaran sejarah islam, kajian Al-Quran, Bahasa Arab, Hadist, Sharia dan Fiqh (hukum-hukum islam. Di dalam autobiografinya, terlihat bahwa pendidikan telah menjadi perhatian utama di dalam keluarganya, lantaran kakaknya juga merupakan spesialis sejarah.


Sebelum usia 17 tahun, Ibnu Khaldun telah mempelajari matematika, logika dan filosofi dari permikir-pemikir cerdas, dan telah mengkaji karya-karya besar sebelumnya dari Ibn Sina, Al Razi, Ibn Roes.


Ibnu Khaldun menuliskan sebuah buku berjudul Al Muqaddimah (eng: The Introduction). Buku ini yang nantinya menciptakan gempar dunia barat pada tahun 1800-an.


Materi utama dari buku ini berbicara perihal peradaban dan masyarakat lantaran bidang utama yang menjadi minat dari Ibnu Khaldun ialah pada Sejarah dan Sosiologi.


Baca Juga: Ilmuwan Dunia yang Dijadikan Figur Pada Uang Kertas


The Muqaddimah


Secara kebetulan saya terfikirkan topik perihal micin ini sesudah membaca rangkuman dari buku The Muqaddimah. Buku ini saya dapatkan dari berlangganan Blinkist, sebuah applikasi handphone yang keren banget, berisi buku-buku berkualitas internasional.


Dari rangkuman tersebut disebutkan kajian Ibn Khaldun seputar peradaban masyarakat yang maju dan yang terbelakang. Salah satu inspirasi yang menarik buatku ialah perihal inspirasi bahwa “terlalu banyak bumbu pada masakan” sanggup menurunkan daya pikir dan kerusakan intelektual.


Membaca itu, saya pribadi dengan iseng menuliskan status FB dengan mengaitkan bahwa bumbu masak tersebut ialah micin, persis menyerupai judul di atas dengan rujukan dari buku The Muqaddimah.


Banyak yang secara pribadi berfikiran bahwa “Wahh.. Ibnu Khaldun sudah mengatakannya, ini niscaya saintifik! Ilmiah lantaran berasal dari Ilmuwan muslim!”


Nahh.. Mari kita luruskan kembali bahwa Ibnu Khaldun ialah seorang ilmuwan muslim, namun bukan pada bidang sains. Bukunya The Muqaddimah juga bukan sedang berbicara sains ilmu alam (bio, kim, fis) melainkan perihal kajian sejarah dan peradaban.


Ini yang menarik, kajian seorang Ibnu Khaldun perihal bumbu pada kuliner bukanlah sebuah kajian ilmiah sains, melainkan kajian sosial masyarakat. Makara ini bukan perihal imbas lansung mengenai “bumbu masak” atau “micin” mensugesti otak sehingga menciptakan kerusakan intelektual, melainkan merupakan kajian kritis sikap masyarakat yang mengkonsumsi terlalu banyak bumbu.


Dalam bukunya, Ibnu Khaldun sedang berbicara perihal orang-orang yang gaya hidupnya glamor terlalu berfoya-foya sehingga memakai bumbu pada kuliner secara berlebihan (bumbu pada masa itu merupakan hal mewah). Orang-orang dengan gaya hidup glamor ini relatif kurang berfikir, atau dalam bahasanya mengalami kerusakan intelektual.


Sebenarnya point utama dari Ibn Khaldun pada duduk kasus ini bukanlah sistem kerja biologis seseorang yang tergoda oleh bumbu masakan, melainkan cara pandang terhadap kehidupan. Ibnu Khaldun sedang mempromosikan gaya hidup yang bersahaja (zuhud).


Tidak perlu mencampurkan bermacam-macam bumbu masakan, menciptakan sebuah kerumitan yang tidak diharapkan hanya untuk memenuhi kebutuhan jasad untuk makan. Dalam pemikirannya, pengolahan kuliner yang memakai bumbu secara berlebihan ini menyita pikiran, membuang-buang energi dan menghabiskan waktu.


Jadi dalil Ibnu Khaldun perihal bumbu kuliner di bukunya ini tidak ada kaitannya dengan keributan media umum perihal micin. 🙂


The Micin


Kontroversi kasus micin sanggup merusak jaringan otak dan menyebabkan kebodohan ialah gosip yang lama. Micin ditengarai menjadi penyebab turunnya kemampuan berfikir, gangguan kesehatan, bahkan gangguan penglihatan.


 mungkin sudah banyak sekali yang membaca terkait imbas micin pada kecerdasan √ Kebodohan Akibat Micin Telah Diramalkan Oleh Ilmuwan Muslim Ratusan Tahun Silam
Micin MSG Monosodium Glutamat


Seperti yang sudah diketahui bersama bahwa micin atau MSG merupakan senyawa kimia yang ditemukan oleh Professor Ikeda. MSG terkenal berasal dari perusahaan kuliner asal Jepang berjulukan Ajinomoto. Perusahaan yang didirikan oleh Prof Ikeda ini berhasil menemukan cara paling efektif dan murah memproduksi MSG untuk zat aditif makanan.


Ajinomoto melaksanakan penelitian yang mendalam mengenai indera perasa manusia, dan mendapati faktor utama yang menyebabkan kuliner itu enak. Ya! penyebabnya ialah Mono Sodium Glutamat (MSG), atau belakangan banyak yang menghindari nama itu dan menggantinya dengan Mono Natrium Glutamat (MNG) padahal sami mawon, podo wae.


Asam Glutamat ialah senyawa dasar dari Mono Sodium Glutamat. Dalam ilmu kimia, penambahan Na+ (Eng: Sodium) pada senyawa Asam Glutamat akan menciptakan senyawa ini gampang larut di dalam air. (note: hampir semua produk zat aditif kuliner diberi Na+ semoga gampang larut di air)


Asam Glutamat terdapat pada badan insan (secara alami), dan juga terdapat pada materi alami menyerupai tomat matang, daging, jamur kering, kombu, dll. Selain itu Glutamat juga terdapat pada keju, Kecap asin, Saus Tomat.


Bagi orang Jepang MSG yakni fitur gres pada kuliner yang luar biasa, lantaran hanya dengan menambahkannya sedikit pada kuliner bisa menunjukkan imbas yummy yang b0mastis. Penggunaan MSG menjadi sangat terkenal dan umum di Jepang semenjak 1909, sebelum WW2 (perang dunia ke-2).


MSG menjadi booming di Amerika semenjak paska WW2. Ini menurut dari pengamatan koki perang yang melihat bahwa tentara Amerika tak pernah menyisakan kuliner yang disediakan tentara Jepang. Sisa kuliner dari tentara Jepang yang terus habis ini menciptakan mereka penasaran, dan ketika itulah ditemukan rahasianya bahwa kuliner tentara Jepang memakai Ajinomoto.


Sejak ketika itu penggunaan MSG pada produk kuliner menjadi sangat umum di Amerika. Melihat maraknya penggunaan MSG, sampai lebih dari 90% industri kuliner menggunakannya, dalam New England Journal of Medicine seorang Dr Ho Man Kwok menuliskan sebuah artikel ‘curhatan’ bahwa beliau mengalami gangguan kesehatan paska mengkonsumsi kuliner mengandugn MSG.


Berita ini di blow up besar-besaran sampai tak ada pembahasan saintifik mengenai MSG, namun banyak artikel tak terperinci yang mendukung pernyataan ini. Setelah besarnya gosip ini, dilakukan banyak sekali percobaan ‘seolah-olah ilmiah’ di beberapa laboraturium untuk menyelidikan kebenarannya.


Namun, hampir semua percobaan menunjukkan MSG pada sampel uji (umumnya tikus) secara ugal-ugalan, overdosis. Jumlah MSG yang dicampurkan pada tikus lebih dari 4x dari takaran normal konsumsinya. Ini menyebabkan kerusakan jaringan otak pada tikus yang kemudian terkenal menjadi inspirasi “MSG menciptakan otak rusak”.


Hingga ketika ini tidak ada bukti ilmiah bahwa MSG menyebabkan kerusakan jaringan otak, gangguan kesehatan dan gangguan mata. Namun, mitos MSG tidak sehat dan harus dihindari tak lagi bisa terbendung.


Akhirnya ketika ini baik dari pihak Ajinomoto maupun banyak Perusahaan gres lain harus merumuskan bentuk gres dari MSG dengan dampak yang baik bagi kesehatan dan menunjukkan patent dengan nama lain. Pada dasarnya, bersaingnya perusahaan kuliner untuk merumuskan ulang perihal MSG mungkin sesuai dengan harapan Dr Ho Man Kwok yang menghawatirkan monopoli Ajinomoto pada industri makanan.


Licik? Tapi berhasil. Hahaha


Di beberapa goresan pena yang dulu sempat terkenal di FB, seseorang mencoba membela “Si Micin” dengan mengaitkannya pada produksi micin memakai Cassava (singkong) yang merupakan produk nasional Indonesia. Membacanya saya jadi agak gimana gitu.


Menempelkan label nasionalis pada penggunaan micin dengan mengungkapkan materi dasarnya ialah singkong, kupikir tak kalah bodohnya dengan pendapat micin itu berbahaya tanpa dasar. Well.. Tapi lantaran ada tempelan nasionalis inilah jadi viral tulisannya.


Baca Juga: Apa itu Racun Sianida?


Generasi Micin


Akhir-akhir ini banyak sekali yang melontarkan istilah “Generasi Micin”. Bahkan kalau kalian menuliskan di Google “Micin” bukan lagi bahasan ilmiah MSG yang kalian dapatkan tetapi justeru pembahasan perihal istilah “generasi micin” yang akan muncul.


Populernya istilah generasi micin ini merujuk pada bawah umur generasi gres yang tak bisa berdiskusi dan berfikir logis.


Jika istilah generasi micin ini dipakai merujuk pada bawah umur kini yang kekurangan kemampuan berfikirnya lantaran terlalu banyak makan micin, maka saya kurang sepakat.


Faktanya Micin tak menyebabkan generasi gres kehilangan kemampuan berfikirnya.


Tetapi jikalau menempelkan istilah generasi micin ini untuk bawah umur yang terlalu banyak bersenang-senang, makan mewah, foya-foya dan tak mengerti perihal bersahaja dan “zuhud”, maka saya sepakat!


Jadi belum ada kajian secara ilmiah bahwa micin itu berbahaya ataupun menyebabkan kerusakan otak dan kehilangan kemampuan berfikir. Namun kelebihan micin sudah niscaya berakibat sangat jelek baik bagi kesehatan maupun pada kemampuan berfikir. Untuk batas kondusif konsumsi MSG ialah 170gr/ hari untuk orang dewasa. Ini jumlah yang sangat banyak sehingga umumnya mengkonsumsi kuliner mengandung MSG tergolong aman-aman saja.


Kebersahajaan untuk memenuhi kebutuhan jasmani yang alakadarnya sudah terbukti membawa kejernihan berfikir dan kecerdasan bagi para ilmuwan dan pemikir.


Menghapus kerumitan untuk hal-hal kecil berarti ada banyak waktu untuk memikirkan hal-hal besar.


Aku sendiri tidak banyak memakai micin dalam masakan, lantaran tidak terlalu suka masak, dan emang cuma ada bumbu garam dan gula di dapurku. Hehe.. 🙂


Thanks for reading, share your thought in the comment section!


Reff:



  • Ibn Khaldun, The Muqaddimah, Blinkist

  • https://en.wikipedia.org/wiki/Ibn_Khaldun

  • https://en.wikipedia.org/wiki/Ajinomoto#History

  • http://www.parenting.com/article/on-call-kids-and-msg

  • https://www.theguardian.com/lifeandstyle/2005/jul/10/foodanddrink.features3

  • http://www.independent.co.uk/life-style/food-and-drink/msg-additive-good-for-you-food-science-sodium-salt-glutamic-acid-chinese-bad-health-steve-witherly-a7567406.html



Sumber https://mystupidtheory.com