Random post

Wednesday, August 30, 2017

√ Askep Hiv Aids

 TINJAUAN TEORITIS

A.                Definisi
AIDS yaitu penyakit yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas seluler yang disebabkan oleh retrovirus (HIV) atau penyakit fatal secara keseluruhan dimana kebanyakan pasien memerlukan perawatan medis dan keperawatan canggih selama perjalanan penyakit. (Carolyn, M.H.1996:601)
AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) yaitu kumpulan tanda-tanda penyakit akhir menurunnya system kekebalan tubuh secara sedikit demi sedikit yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency virus (HIV). (Mansjoer, 2000:162)
Infeksi HIV yaitu infeksi virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih Infeksi oleh HIV biasanya berakibat pada kerusakan sistem kekebalan tubuh secara progresif, mengakibatkan terjadinya infeksi oportunistik dan kanker tertentu (terutama pada orang dewasa).
Kasus HIV pada anak biasanya paling sering ditemukan akhir transmisi dari ibu yang sudah mempunyai HIV ke anaknya. Kemungkinan besar perpindahan virus ini terjadi selama proses kehamilan dan juga persalinan.

B.                  E tiologi
Penyebab penyakit AIDs yaitu HIV yaitu virus yang masuk dalam kelompok retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan tubuh manusia. Penyakit ini sanggup ditularkan melalui penularan secual, kontaminasi patogen di dalam darah, dan penularan masa perinatal.
1.                  faktor risiko untuk tertular HIV pada bayi dan anak yaitu :
1.                  bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan bisecual,
2.                  bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan berganti,
3.                  bayi yang lahir dari ibu atau pasangannya penyalahguna obat intravena,
4.                  bayi atau anak yang mendapat transfusi darah atau produk darah berulang,
5.                  anak yang terpapar pada infeksi HIV dari kekerasan secual (perlakuan salah secual), dan
6.                  anak remaja dengan hubungan secual berganti-ganti pasangan.
b.       Cara Penularan
Penularan HIV dari ibu kepada bayinya sanggup melalui:
1)       Dari ibu kepada anak dalam kandungannya (antepartum)
Ibu hamil yang terinfeksi HIV sanggup menularkan virus tersebut ke bayi yang dikandungnya. Cara transmisi ini dinamakan juga transmisi secara vertikal. Transmisi sanggup terjadi melalui plasenta (intrauterin) intrapartum, yaitu pada waktu bayi terpapar dengan darah ibu.
2)       SElama persalinan (intrapartum)
Selama persalinan bayi sanggup tertular darah atau cairan servikov@gin@l yang mengandung HIV melalui paparan trakeobronkial atau tertelan pada jalan lahir.
3)       Bayi gres lahir terpajan oleh cairan tubuh ibu yang terinfeksi
Pada ibu yang terinfeksi HIV, ditemukan virus pada cairan v@gin@ 21%, cairan aspirasi lambung pada bayi yang dilahirkan. Besarnya paparan pada jalan lahir sangat dipengaruhi dengan adanya kadar HIV pada cairan v@gin@ ibu, cara persalinan, ulkus serviks atau v@gin@, perlukaan dinding v@gin@, infeksi cairan ketuban, ketuban pecah dini, persalinan prematur, penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau forsep, episiotomi dan rendahnya kadar CD4 pada ibu. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan meningkatkan resiko transmisi antepartum hingga dua kali lipat dibandingkan kalau ketuban pecah kurang dari 4 jam sebelum persalinan.
4)       Bayi tertular melalui pemberian ASI.
Transmisi pasca persalinan sering terjadi melalui pemberian ASI (Air susu ibu). ASI diketahui banyak mengandung HIV dalam jumlah cukup banyak. Konsentrasi median sel yang terinfeksi HIV pada ibu yang tenderita HIV yaitu 1 per 10 4 sel, partikel virus ini sanggup ditemukan pada componen sel dan non sel ASI. Berbagai factor yang sanggup menghipnotis resiko tranmisi HIV melalui ASI antara lain mastitis atau luka di puting, lesi di mucosa verbal bayi, prematuritas dan respon imun bayi. Penularan HIV melalui ASI diketahui merupakan faktor penting penularan paska persalinan dan meningkatkan resiko tranmisi dua kali lipat.
C.                  Patofisiologi
HIV secara khusus menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4, yang bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang meliputi limfosit penolong dengan kiprah kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga meperlihatkan pengurangan sedikit demi sedikit bersamaan dengan perkembangan penyakit. Mekanisme infeksi HIV yang mengakibatkan penurunan sel CD4.
HIV secara istimewa menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4, yang bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang meliputi linfosit penolong dengan kiprah kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga memperlihatkan pengurangan sedikit demi sedikit bersamaan dengan perkembangan penyakit. Mekanisme infeksi HIV yang mengakibatkan penurunan sel CD4 ini tidak pasti, meskipun kemungkinan meliputi infeksi litik sel CD4 itu sendiri; induksi apoptosis melalui antigen viral, yang sanggup bekerja sebagai superantigen; penghancuran sel yang terinfeksi melalui mekanisme imun antiviral penjamu dan kematian atau disfungsi precursor limfosit atau sel asesorius pada timus dan kelenjar getah bening. HIV sanggup menginfeksi jenis sel selain limfosit. Infeksi HIV pada monosit, tidak menyerupai infeksi pada limfosit CD4, tidak mengakibatkan kematian sel. Monosit yang terinfeksi sanggup berperang sebagai reservoir virus laten tetapi tidak sanggup diinduksi, dan sanggup membawa virus ke organ, terutama otak, dan menetap di otak. Percobaan hibridisasi memperlihatkan asam nukleat viral pada sel-sel kromafin mukosa usus, epitel glomerular dan tubular dan astroglia. Pada jaringan janin, pemulihan virus yang paling konsisten yaitu dari otak, hati, dan paru. Patologi terkait HIV melibatkan banyak organ, meskipun sering sulit untuk mengetahui apakah kerusakan terutama disebabkan oleh infeksi virus local atau komplikasi infeksi lain atau autoimun
Infeksi HIV biasanya secara klinis tidak bergejala dikala terakhir, meskipun “ priode inkubasi “  atau interval sebelum muncul tanda-tanda infeksi HIV, secara umum lebih singkat pada infeksi perinatal dibandingkan pada infeksi HIV dewasa. Selama fase ini, gangguan regulasi imun sering tampak pada dikala tes, terutama berkenaan dengan fungsi sel B; hipergameglobulinemia dengan produksi antibody nonfungsional lebih universal diantara belum dewasa yang terinfeksi HIV dari pada dewasa, sering meningkat pada usia 3 hingga 6 bulan. Ketidak mampuan untuk berespon terhadap antigen gres ini dengan produksi imunoglobulin secara klinis menghipnotis bayi tanpa pajanan antigen sebelumnya, berperang pada infeksi dan keparahan infeksi basil yang lebih berat pada infeksi HIV pediatrik. Deplesi limfosit CD4 sering merupakan temuan lanjutan, dan mungkin tidak berkorelasi dengan status simtomatik. Bayi dan belum dewasa dengan infeksi HIV sering mempunyai jumlah limfosit yang normal, dan 15% pasien dengan AIDS periatrik mungkin mempunyai resiko limfosit CD4 terhadap CD8 yang normal. Panjamu yang berkembang untuk beberapa alasan menderita imunopatologi yang berbeda dengan dewasa, dan kerentanan perkembangan system saraf pusat menerangkan frekuensi relatif ensefalopati yang terjadi pada infeksi HIV anak.

D.                 Manifestasi klinik
Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis hingga penyakit berat yang dinamakan AIDS. AIDS pada anak terutama terjadi pada umur muda lantaran sebagian besar (>80%) AIDS pada anak akhir transmisi vertikal dari ibu ke anak. Lima puluh persen perkara AIDS anak berumur < l tahun dan 82% berumur <3 tahun. Meskipun demikian ada juga bayi yang terinfeksi HIV secara vertikal belum memperlihatkan tanda-tanda AIDS pada umur 10 tahun.
Gejala klinis yang terlihat yaitu akhir adanya infeksi oleh mikroorganisme yang ada di lingkungan anak. Oleh lantaran itu, manifestasinya pun berupa manifestasi nonspesifik berupa  : 
a.      gagal tumbuh
b.       berat tubuh menurun,
c.        anemia,
d.      panas berulang,
e.       limfadenopati, dan
f.         hepatosplenomegali
Gejala yang menjurus kemungkinan adanya infeksi HIV yaitu adanya infeksi oportunistik, yaitu infeksi dengan kuman, parasit, jamur, atau protozoa yang lazimnya tidak memperlihatkan penyakit pada anak normal. Karena adanya penurunan fungsi imun, terutama imunitas selular, maka anak akan menjadi sakit bila terpajan pada organisme tersebut, yang biasanya lebih lama, lebih berat serta sering berulang. Penyakit tersebut antara lain kandidiasis verbal yang sanggup menyebar ke esofagus, radang paru lantaran Pneumocystis carinii, radang paru lantaran mikobakterium atipik, atau toksoplasmosis otak. Bila anak terjangkit Mycobacterium tuberculosis, penyakitnya akan berjalan berat dengan kelainan luas pada paru dan otak. Anak sering juga menderita diare berulang.
Manifestasi klinis lainnya yang sering ditemukan pada anak yaitu pneumonia interstisialis limfositik, yaitu kelainan yang mungkin pribadi disebabkan oleh HIV pada jaringan paru. Manifestasi klinisnya berupa
a.      hipoksia,
b.      sesak napas,
c.        jari tabuh, dan
d.      limfadenopati.
e.       Secara radiologis terlihat adanya infiltrat retikulonodular difus bilateral,     terkadang dengan adenopati di hilus dan mediastinum.
Manifestasi klinis yang lebih tragis yaitu yang dinamakan ensefalopati kronik yang menimbulkan kendala perkembangan atau kemunduran ketrampilan motorik dan daya intelektual, sehingga terjadi retardasi mental dan motorik. Ensefalopati sanggup merupakan manifestasi primer infeksi HIV. Otak menjadi atrofi dengan pelebaran ventrikel dan kadangkala terdapat kalsifikasi. Antigen HIV sanggup ditemukan pada jaringan susunan saraf pusat atau cairan serebrospinal.
E.                  Pemeriksaan penunjang
Menurut Hidayat (2008) diagnosis HIV sanggup tegakkan dengan menguji HIV. Tes ini meliputi tes Elisa, latex agglutination dan western blot. Penilaian Elisa dan latex agglutination dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi HIV atau tidak, bila dikatakan positif HIV harus dipastikan dengan tes western blot. Tes lain yaitu dengan cara menguji antigen HIV, yaitu tes antigen P 24 (polymerase chain reaction) atau PCR. Bila investigasi pada kulit, maka dideteksi dengan tes antibodi (biasanya dipakai pada bayi lahir dengan ibu HIV.

F.                   Diagnosis
Diagnosis awal bayi yang terinfeksi sangat diinginkan, tetapi pengenalan awal bayi yang beresiko HIV lebih penting. Hanya kalau infeksi HIV pada wanita hamil teridentifikasi, terhadap kesempatan untuk mengubah ibu dan bayi secara cepat dengan terapi antiviral atau preventif. Oleh lantaran itu uji dan konseling HIV harus menjadi belahan rutin pada perawatan kehamilan.
a.                   pada bayi yang mendapat asi
Bila seorang bayi yang terpapar infeksi HIV mendapat ASI, ia akan terus berisiko tertulari HIV selama masa pemberian ASI; karenanya uji virologik negatif pada bayi yang terus mendapat ASI tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi HIV. Dianjurkan uji virologik dilakukan sehabis bayi tidak lagi mendapat ASI selama minimal 6 minggu. Bila dikala itu bayi sudah berumur 9-18 bulan dikala pemberian ASI dihentikan, uji antibodi sanggup dilakukan sebelum uji virologik, lantaran secara mudah uji antibodi jauh lebih murah. Bila hasil uji antibodi positif, maka investigasi uji virologik dibutuhkan untuk mendiagnosis pasti, meskipun waktu yang niscaya belum dewasa menciptakan antibodi anti HIV pada yang terinfeksi post partum belum diketahui. 
b.                  Pada Bayi dan anak yang terpapar HIV dan mempunyai tanda-tanda klinis
Bila uji virologik tidak sanggup dilakukan tetapi ada tempat yang bisa memeriksa, semua bayi kurang dari 12 bulan yang terpapar HIV dan memperlihatkan tanda-tanda dan tanda infeksi HIV harus dirujuk untuk uji virologik. Hasil yang positif pada stadium apapun memperlihatkan positif infeksi HIV.
c.                   Pada  Bayi dan anak yang terpapar HIV asimtomatik
Pada usia 12 bulan, sebagian besar bayi yang terpapar HIV sudah tidak lagi mempunyai antibodi maternal. Hasil uji antibodi yang positif pada usia ini sanggup dianggap indikasi tertular (94.5% seroreversi pada usia 12 bulan; Spesifisitas 96%) dan harus diulang pada usia 18 bulan.
d.                  Pada Anak yang berumur kurang dari 18 bulan
Diagnosis definitif laboratoris infeksi HIV pada anak yang berumur kurang dari 18 bulan hanya sanggup ditegakkan melalui uji virologik. Hasil yang positif memastikan terdapat infeksi HIV. Tetapi bila kanal untuk uji virologik ini terbatas, WHO menganjurkan untuk dilakukan pada usia 6-8 minggu, dimana bayi yang tertular in utero, maupun intra partum sanggup tercakup.
Uji virologik yang dilakukan pada usia 48 jam sanggup mengidentifikasi bayi yang tertular in utero, tetapi sensitivitasnya masih sekitar 48%. Bila dilakukan pada usia 4 ahad maka sensitivitasnya naik menjadi 98%.
Satu hasil positif uji virologik pada usia berapa pun dianggap diagnostik pasti. Meskipun demikian tetap direkomendasikan untuk melaksanakan uji ulang pada sampel darah yang berbeda. Bila mustahil dilakukan dua kali maka harus dipastikan kehandalan laboratorium penguji.
Pada anak yang didiagnosis infeksi HIV hanya dengan satu kali investigasi virologik yang positif, harus dilakukan uji antibodi anti HIV pada usia lebih dari 18 bulan.  
e.                   Pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan 
Diagnosis definitif infeksi HIV pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan (apakah paparannya diketahui atau tidak) sanggup memakai uji antibodi, sesuai proses diagnosis pada orang dewasa. Konfirmasi hasil yang positif harus mengikuti algoritme standar nasional, paling tidak memakai reagen uji antibodi yang berbeda.
G.                Komplikasi
a.                   Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat. Kandidiasis oral ditandai oleh bercak-bercak putih menyerupai krim dalam rongga mulut. Jika tidak diobati, kandidiasis oral akan berlanjut mengeni esophagus dan lambung. Tanda dan tanda-tanda yang menyertai meliputi keluhan menelan yang sulit dan rasa sakit di balik sternum (nyeri retrosternal).
Neurologik
     Ensefalopati HIV atau disebut pula sebagai kompleks dimensia AIDS (ADC; AIDS dementia complex). Manifestasi dini meliputi gangguan daya ingat, sakit kepala, kesulitan berkonsentrasi, konfusi progresif, perlambatan psikomotorik, apatis dan ataksia. stadium lanjut meliputi gangguan kognitif global, kelambatan dalam respon verbal, gangguan efektif menyerupai pandangan yang kosong, hiperefleksi paraparesis spastic, psikosis, halusinasi, tremor, inkontinensia, dan kematian.
     Meningitis kriptokokus ditandai oleh tanda-tanda menyerupai demam, sakit kepala, malaise, kaku kuduk, mual, muntah, perubahan status mental dan kejang-kejang. diagnosis ditegakkan dengan analisis cairan serebospinal.
b.                  Gastrointestinal
Wasting syndrome kini diikutsertakan dalam definisi perkara yang diperbarui untuk penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya meliputi penurunan BB > 10% dari BB awal, diare yang kronis selama lebih dari 30 hari atau kelemahan yang kronis, dan demam yang kambuhan atau menetap tanpa adanya penyakit lain yang sanggup menjelaskan tanda-tanda ini.
-       Diare lantaran basil dan virus, pertumbuhan cepat tumbuhan normal, limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam, malabsorbsi, dan dehidrasi.
-       Hepatitis lantaran basil dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.
-       Penyakit Anorektal lantaran bisul dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akhir infeksi, dengan imbas inflamasi sulit dan sakit, nyeri rektal, gatal-gatal dan diare.
c.                   Respirasi
Pneumocystic Carinii. Gejala napas yang pendek, sesak nafas (dispnea), batuk-batuk, nyeri dada, hipoksia, keletihan dan demam akan menyertai pelbagi infeksi oportunis, menyerupai yang disebabkan oleh Mycobacterium Intracellulare (MAI), cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides.
d.                  Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis lantaran xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan imbas nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis. Infeksi oportunis menyerupai herpes zoster dan herpes simpleks akan disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri dan merusak integritas kulit. moluskum kontangiosum merupakan infeksi virus yang ditandai oleh pembentukan plak yang disertai deformitas. dermatitis sosoreika akan disertai ruam yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit kepala serta wajah.penderita AIDS juga sanggup memperlihatkan folikulitis menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering dan mengelupas atau dengan dermatitis atopik menyerupai ekzema dan psoriasis.
e.                   Sensorik
-          Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva atau kelopak mata : retinitis sitomegalovirus berefek kebutaan
-          Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan telinga dengan imbas nyeri yang bekerjasama dengan mielopati, meningitis, sitomegalovirus dan reaksi-reaksi obat.
H.                Pemeriksaan Penunjang
a)                  Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
-          ELISA (positif; hasil tes yang positif dipastikan dengan western blot)
-          Western blot (positif)
-          P24 antigen test (positif untuk protein virus yang bebas)
-          Kultur HIV(positif; kalau dua kali uji-kadar secara berturut-turut mendeteksi enzim reverse transcriptase atau antigen p24 dengan kadar yang meningkat)
b)                  Tes untuk deteksi gangguan system imun.
-          LED (normal namun perlahan-lahan akan mengalami penurunan)
-          CD4 limfosit (menurun; mengalami penurunan kemampuan untuk bereaksi terhadap antigen)
-          Rasio CD4/CD8 limfosit (menurun)
-          Serum mikroglobulin B2 (meningkat bersamaan dengan berlanjutnya penyakit).
-          Kadar immunoglobulin (meningkat)
I.                   Penatalaksanaan
1.                  Perawatan
Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara lain:
  Suportif dengan cara mengusahakan supaya gizi cukup, hidup sehat dan mencegah kemungkinan terjadi infeksi
  Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta keganasan yang ada
  Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus menyerupai golongan dideosinukleotid, yaitu azidomitidin (AZT) yang sanggup menghambat enzim RT dengan berintegrasi ke DNA virus, sehingga tidak terjadi transkripsi DNA HIV
  Mengatasi dampak psikososial
  Konseling pada keluarga wacana cara penularan HIV, perjalanan penyakit, dan mekanisme yang dilakukan oleh tenaga medis
  Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus selalu memperhatikan proteksi universal (universal precaution)
2.                    pengobatan
Pengobatan  medikamentosa mencakupi pemberian obat-obat profilaksis infeksi oportunistik yang tingkat morbiditas dan mortalitasnya tinggi. Riset yang luas telah dilakukan dan memperlihatkan kesimpulan rekomendasi pemberian kotrimoksasol pada penderita HIV yang berusia kurang dari 12 bulan dan siapapun yang mempunyai kadar CD4 < 15% hingga dipastikan ancaman infeksi pneumonia akhir benalu Pneumocystis jiroveci dihindari. Pemberian Isoniazid (INH) sebagai profilaksis penyakit TBC pada penderita HIV masih diperdebatkan. Kalangan yang baiklah beropini langkah ini bermanfaat untuk menghindari penyakit TBC yang berat, dan harus dibuktikan dengan metode diagnosis yang handal. Kalangan yang menolak menganggap bahwa di negara endemis TBC, kemungkinan infeksi TBC natural sudah terjadi. Langkah diagnosis perlu dilakukan untuk menetapkan perkara mana yang memerlukan pengobatan dan yang tidak.
Obat profilaksis lain yaitu preparat nistatin untuk antikandida, pirimetamin untuk toksoplasma, preparat sulfa untuk malaria, dan obat lain yang diberikan sesuai kondisi klinis yang ditemukan pada penderita.
Pengobatan penting yaitu pemberian antiretrovirus atau ARV. Riset mengenai obat ARV terjadi sangat pesat, meskipun belum ada yang bisa mengeradikasi virus dalam bentuk DNA proviral pada stadium dorman di sel CD4 memori. Pengobatan infeksi HIV dan AIDS kini memakai paling tidak 3 kelas anti virus, dengan target molekul virus dimana tidak ada homolog manusia. Obat pertama ditemukan pada tahun 1990, yaitu Azidothymidine (AZT) suatu analog nukleosid deoksitimidin yang bekerja pada tahap penghambatan kerja enzim transkriptase riversi. Bila obat ini dipakai sendiri, secara bermakna sanggup mengurangi kadar RNA HIV plasma selama beberapa bulan atau tahun. Biasanya progresivitas penyakti HIV tidak dipengaruhi oleh pemakaian AZT, lantaran pada jangka panjang virus HIV berevolusi membentuk mutan yang resisten terhadap obat.
3.                   Pencegahan
Penularan HIV dari ibu ke bayi sanggup dicegah melalui :
1)                  Saat hamil. Penggunaan antiretroviral selama kehamilan yang bertujuan supaya vital load rendah sehingga jumlah virus yang ada di dalam darah dan cairan tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV.
2)                  Saat melahirkan. Penggunaan antiretroviral(Nevirapine) dikala persalinan dan bayi gres dilahirkan dan persalinan sebaiknya dilakukan dengan metode sectio caesar lantaran terbukti mengurangi resiko penularan sebanyak 80%.
3)                  Setelah lahir. Informasi yang lengkap kepada ibu wacana resiko dan manfaat ASI


BAB III
KONSEP KEPERAWATAN

1.                  Pengkajian
-          Lakukan pengkajian fisik
-          Dapatkan riwayat imunisasi
-          Dapatkan riwayat yang bekerjasama dengan faktor resiko terhadap aids pada anak-anak: exposure in utero to HIV-infected  mother, pemajanan terhadap produk darah, khususnya anak dengan hemophilia, remaja yang mengambarkan prilaku resiko tinggi
-          Observasi adanya manifestasi AIDS pada anak-anak: gagal tumbuh, limfadenopati, hepatosplenomegali
-          Infeksi basil berulang
-          Penyakit paru khususnya pneumonia pneumocystis carinii (pneumonitys inter interstisial limfositik, dan hyperplasia limfoid paru).
-          Diare kronis
-          Gambaran neurologis, kehilangan kemampuan motorik yang telah di capai sebelumnya, kemungkinan mikrosefali, pemeriksaan  neurologis abnormal
-          Bantu dengan mekanisme diagnostik dan pengujian missal tes antibody serum.

2.                   Diagnosa
1)                  Bersihan jalan nafas inefektif bekerjasama dengan akumulasi secret sekunder terhadap hipersekresi sputum lantaran proses inflamasi
2)                  Pola nafas tidak efektif bekerjasama dengan pengembangan ekspnsi paru
3)                  Hipertermi bekerjasama dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus sekunder terhadap reaksi antigen dan antibody (Proses inflamasi)
4)                  Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh bekerjasama dengan kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral
5)                  Perubahan eliminasi (diare) yang bekerjasama dengan peningkatan motilitas usus sekunder proses inflamasi system pencernaan.
6)                  Nyeri bekerjasama dengan  proses penyakit (misal: ensefalopati, pengobatan).
7)                   Risiko tinggi kekurangan volume cairan bekerjasama dengan penurunan pemasukan dan pengeluaran sekunder lantaran kehilangan nafsu makan dan diare
8)                   Risiko kerusakan integritas kulit yang bekerjasama dengan dermatitis seboroik dan herpers zoster sekunder proses inflamasi system integumen
9)                  Perubahan proses keluarga bekerjasama dengan mempunyai anak dengan penyakit yang mengancam hidup.

3.                  Intervensi Keperawatan
Menurut Wong (2004) intervensi keperawatan yang sanggup dilakukan untuk mengatasi diagnosa keperawatan pada anak yang menderita HIV antara lain

1)                  Bersihan jalan nafas tidak efektif bekerjasama dengan akumulasi sekret
Tujuan : Anak memperlihatkan jalan nafas yang efektif
Intervensi
a)                  Auskultasi area paru, catat area penurunan/tidak ada pedoman udara dan suara napas adventisius,
R/ : penurunan pedoman udara terjadi pada area konsolidasi dengan cairan. Bunyi napas bronkhial sanggup juga terjadi pada area konsolidasi.
b)                   Mengkaji ulang tanda-tanda vital (irama dan frekuensi, serta gerakan dinding dada
R/ : takipnea, pernapasan dangkal dan gerakan dada tidak simetris terjadi lantaran ketidaknyaman gerakan dinding dada dan atau cairan paru-paru
c)                  Bantu pasien latihan napas sering. Tunjukkan/bantu pasien mempelajari melaksanakan batuk, contohnya menekan dada dan batuk efektif sementara posisi duduk tinggi
R/ : Napas dalam memudahkan perluasan maksimum paru/jalan napas lebih kecil. Batuk yaitu mekanisme pencucian jalan napas alami membantu silia untuk mempertahankan jalan napas paten. Penekanan menurunkan ketidaknyamanan dada dan posisi duduk memungkinkan upaya napas lebih dalam dan lebih berpengaruh
4.      Penghisapan sesuai indikasi
R/ : merangsang batuk atau pencucian jalan napas secara mekanik pada pasien yang tidak bisa melaksanakan lantaran batuk tidak efektif atau penurunan tingkat kesadaran
5.      Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/hari (kecuali kontraindikasi). Tawarkan air hangat dari pada dingin
R/ : Cairan (khususnya yang hangat) memobilisasi dan mengeluarkan sekret
6.      Memberikan obat yang sanggup meningkatkan efektifnya jalan nafas (seperti bronchodilator)
R/ : alat untuk menurunkan spasme bronkhus dengan memobilisasi sekret, obat bronchodilator sanggup membantu mengencerkan sekret sehingga gampang untuk dikeluarkan

2.      Pola nafas tidak efektif bekerjasama dengan penurunan perluasan paru
Tujuan : anak sanggup mengambarkan contoh napas yang efektif
Intervensi
1.      Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan perluasan paru. Catat upaya pernafasan, termaksud penggunaan otot bantu.
R/ Kecepatan biasanya meningkat. Dispnue dan terjadi peningkatan kerja nafas. Kedalaman pernafasan berfariasi tergantung derajat gagal nafas.
2.      Auskultasi suara nafas dan catat adanya suara menyerupai ronchi.
R/ Bunyi nafas menurun / tidak ada bila jalan nafas obstruktif sekunder terhadap pendarahan, Ronki dan mengi menyertai obstrusi jalan nafas/ kegagalan nafas.
3.  Tinggkan kepala dan bantu mengubah posisi. Bangunkan pasien    turun sari tempat tidur dan ambulansi sesegera mungkin.
R/ Duduk tinggi memungkinkan perluasan paru memudahkan pernafasan.
4.Observasi contoh batuk dan abjad sekret.
R/ Kongesti alveolar menimbulkan batuk kering / iritasi. Sputum berdarah sanggup menimbulkan infark jaringan.
5.Berikan oksigen tambahan.
R/ Memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas.

3.      Hipertermi bekerjasama dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus sekunder terhadap reaksi antigen dan antibody
Tujuan :Anak akan mempertahankan suhu tubuh kurang dari 37,5 oC
Intervensi
1.      Pertahankan lingkungan sejuk, dengan memakai piyama dan selimut yang tidak tebal serta pertahankan suhu ruangan antara 22o dan 24 oC
R/ : Lingkungan yang sejuk membantu menurunkan suhu tubuh dengan cara radiasi
2.      Beri antipiretik sesuai petunju
R/ : Antipiretik menyerupai asetaminofen (Tylenol), efektif menurunkan demam
3.      Pantau suhu tubuh anak setiap 1-2 jam, bila terjadi peningkatan secara tiba-tib
R/ : Peningkatan suhu secara tiba-tiba akan menimbulkan kejang
4.      Beri antimikroba/antibiotik jira disaranka
R/ : Antimikroba mungkin disarankan untuk mengobati organismo penyebab.
5.      Berikan kompres dengan suhu 37 oC pada anak untuk menurunkan demam
R/ : kompres hangat efektif mendinginkan tubuh melalui cara konduksi

4.         Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh bekerjasama dengan kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral
Tujuan :
 Pasien mendapat nutrisi yang optimal dengan kriteria hasil anak mengkonsumsi jumlah nutrien yang cukup
Intervensi :
1.      Berikan masakan dan camilan tinggi kalori dan tinggi protein
R/ : Untuk memenuhi kebutuhan tubuh untuk metabolisme dan pertumbuhan
2.      Beri masakan yang disukai anak
R/ : Untuk mendorong supaya anak mau makan
3.      Perkaya masakan dengan tambahan nutrisi, contohnya susu bubuk atau tambahan yang dijual bebas
R/ : Untuk memaksimalkan kualitas asupan makanan
4.      Berikan masakan ketika anak sedang mau makan dengan baik
R/ : Ketika anak mau makan yaitu kesempatan yang berharga bagi perawat maupun orang renta untuk memperlihatkan masakan sehingga porsi yang disediakan dihabiskan
5.      Gunakan kreativitas untuk mendorong anak
R/ : Dapat menarik minat anak untuk makan dan menghabiskan porsi masakan yang disediakan
6.      Pantau berat tubuh dan pertumbuhan
R/ : Pemantauan berat tubuh dilakukan sehingga intervensi nutrisi tambahan sanggup diimplementasikan bila pertumbuhan mulai melambat atau berat tubuh turun
7.      Berikan obat antijamur sesuai instruksi
R/ : Untuk mengobati kandidiasis oral

5.         Perubahan eliminasi (diare) yang bekerjasama dengan peningkatan motilitas usus sekunder proses inflamasi system pencernaan
Tujuan : Orang renta melaporkan penurunan frekuensi defekasi dengan kriteria, konsistensi feases kembali normal dan orang renta bisa mengidentifikasi/menghindari faktor pemberat.
Intervensi :
1.      Observasi dan catat frekuensi defekasi, karakteristik, jumlah dan faktor pencetus
R/ : Membantu membedakan penyakit individu dan mengkaji beratnya episode.
2.      Tingkat tirah baring, berikan alat-alat disamping tempat tidur
R/ : Istirahat menurunkan motilitas usus juga menurunkan laju metabolisme bila infeksi atau perdarahan sebagai komplikasi.
3.      Buang feses dengan cepat dan berikan pengharum ruangan
R/ : menurunkan busuk tidak sedap untuk menghindari rasa aib pasien
4.      Identifikasi masakan dan cairan yang mencetuskan diare (misalnya sayuran segar, buah, sereal, bumbu, minuman karnonat, produks susu)
R/ : Menghindarkan irirtan meningkatkan istirahat usus
5.      Mulai lagi pemasukan cairan per oral secara sedikit demi sedikit dan hindari minuman dingin
R/ : memperlihatkan istirahat kolon dengan menghilangkan atau menurunkan rangsang makanan/cairan. Makan kembali secara sedikit demi sedikit cairan mencegah kram dan diare berulang, namun cairan yang hambar sanggup meningkatkan motilitas usus
6.      Berikan kolaburasi antibiotik
R/ : Mengobati infeksi supuratif fokal

6.         Nyeri bekerjasama dengan proses penyakit (misal: ensefalopati, pengobatan).
Tujuan : Pasien tidak memperlihatkan atau tidak ada bukti nyeri atau peka rangsang dengan kriteria hasil bukti-bukti atau peka rangsang yang ditunjukkan anak minimal atau tidak ada
Intervensi :
1.      Kaji nyeri dan gunakan seni administrasi nonfarmakologis
R/ : Teknik-teknik menyerupai relaksasi, pernapasan dalam berirama dan distraksi sanggup menciptakan nyeri sanggup lebih ditoleransi
2.      Untuk bayi sanggup dicoba tindakan kenyamanan umum (misalnya: mengayun, menggendong, membuai, menurunkan stimulus lingkungan
R/ : Dapat mengurangi nyeri atau mengalihkan nyeri anak
3.      Gunakan seni administrasi farmakologis
R/ : rapat membantu mengurangi atau menghilangkan nyeri
4.      Rencanakan jadual awal pencegahan bila analgesik efektif dalam mengurangi nyeri yang terus menerus
R/ : Untuk mempertahankan kadar analgesik mantap dalam darah
5.      Anjurkan penggunaan premedikasi untuk mekanisme yang menimbulkan nyeri
R/ : Dapat mengurangi nyeri pada dikala dilakukan tindakan perawatan
6.      Gunakan catatan pengkajian nyeri
R/ : Untuk mengevaluasi efektifitas intervensi keperawatan

7.         Risiko tinggi kekurangan volume cairan bekerjasama dengan pemasukan dan pengeluaran sekunder lantaran kehilangan nafsu makan dan diare
Tujuan : keseimbangan cairan tubuh adekuat dengan kriteria hasil : tidak ada ada tanda-tanda kehilangan cairan tubuh (tanda-tanda vital stabil, kualitas denyut nadi baik, turgor kulit normal, membran mukosa lembab dan pengeluaran urine yang sesuai).
Intervensi :
1.      Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran. Tinjau ulang catatan intra operasi.
R/ : dokumentasi yang akurat akan membantu dalam mengidentifikasi pengeluaran cairan/kebutuhan penggantian dan pilihan-pilihan yang menghipnotis intervensi.
2.      Pantau tanda-tanda vital.
R/ :     hipotensi, takikardia, peningkatan pernapasan mengindikasikan kekurangan kekurangan cairan.
3.      Letakkan pasien pada posisi yang sesuai, tergantung pada kekuatan pernapasan.
R/ : elevasi kepala dan posisi miring akan mencegah terjadinya aspirasi dari muntah, posisi yang benar akan mendorong ventilasi pada lobus paru belahan bawah dan menurunkan tekanan pada diafragma.
4.      Pantau suhu kulit, palpasi denyut perifer.
R/ :    kulit yang dingin/lembab, denyut yang lemah mengindikasikan penurunan sirkulasi perifer dan dibutuhkan untuk penggantian cairan tambahan.
5.      Kolaborasi, berikan cairan parenteral, produksi darah dan atau plasma ekspander sesuai petunjuk. Tingkatkan kecepatan IV kalau diperluakan.
R/ : gantikan kehilangan cairan yang telah didokumentasikan. Catat waktu penggangtian volume sirkulasi yang potensial bagi penurunan komplikasi, contohnya ketidak seimbangan.

8.         Risiko kerusakan integritas kulit yang bekerjasama dengan dermatitis seboroik dan herpers zoster sekunder proses inflamasi system integument
Tujuan : Anak memperlihatkan integritas kulit yang utuh dengan kriteria hasil : infeksi virus herpes tidak meluas, anak tidak menggaruk kulit yang terinfeksi dan orang renta mendemonstrasikan cara perawatan kulit untuk mencegah kerusakan kulit.
Intervensi :
1.      Pasang alat pelembab dalam rumah untuk menghindari kulit terlalu kering
R/ : Kulit yang kering sanggup mempermudah terjadinya kerusakan kulit sehingga perlu dijaga kelembabannya sehingga kulit tidak gampang lecet
2.      Bersihkan tempat yang tidak infeksi
R/ : membersighan tempat yang tidak terinfeksi sanggup mencegah terjadinya perluasan infeksi kulit
3.      Sarankan klien untuk tidak menggaruk
R/ : Menggaruk sanggup mendorong terjadinya diskountinuitas jaringan kulit, apa bila kalau dilakukan dengan keras/kuat
4.      Kulit yang mengeras dan bersisik jangan dikupas, biarkan terkelupas sendir
R/ : berusaha mengelupas/melepas kulit yang bersisik sanggup memicu terjadinya luka pada kulit yang bersisik
5.      Pemberian antibiotik sistemik
R/ : pemberian antibiotik sanggup membantu membasmi basil sehingga infeksi kulit tidak meluas

9.         Perubahan proses keluarga bekerjasama dengan mempunyai anak dengan penyakit yang mengancam hidup
Tujuan : Pasien dan keluarga mendapat dukungan yang adekuat dan keluarga sanggup terlibat dengan kelompok-kelompok khusus
Intervensi :
1.      Kenali problem keluarga dan kebutuhan akan informasi dan dukungan
R/ : dengan mengkaji problem yang dihadapi keluarga perawat sanggup menciptakan planning intervensi yang sempurna serta sanggup melaksanakan pendekatan dengan keluarga dengan cara yang tepat.
2.      Kaji pemahaman keluarga wacana diagnosa dan planning perawatan
R/ : Tingkat pemahaman keluarga wacana penyakit dan terapinya sangat dibutuhkan perawat sanggup memilih intervensi yang tepat
3.      Tekankan dan jelaskan klarifikasi profesional kesehatan wacana kondisi anak, mekanisme dan terapi yang dianjurkan serta prognosanya
R/ : klarifikasi yang sempurna dari profesional akan mempertegas bahwa informasi yang didapatkan wacana penyakit dan terainya tersebut sempurna
4.      Gunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan pemahaman keluarga wacana penyakit dan terapinya dan ulangi informasi sesering mungkin
R/ : Untuk memfasilitasi keluarga berguru dan meningkatkan kemampuannya dalam merawat klien
5.      Bantu orang renta mengintepretasikan sikap dan respon bayi atau anak
R/ : Menginteoretasikan sikap dan respon bayi atau anak secara sempurna sanggup membantu keluarga dalam mengambil keputusan kapan harus lapor perawat atau dokter
6.      Sambut keberadaan keluargatanpa batas
R/ : untuk meningkatkan hubungan keluarga
7.      Dorong keluarga untuk memperlihatkan barang-barang yang berarti dan sanggup diatur pada anak
R/ : Untuk memperlihatkan rasa aman
8.      Rujuk pada kelompok pendukung dan lembaga-lembaga khusus (mis yayasan HIV/AIDS Indonesia)
R/ : untuk dukungan interpersonal tambahan dan nyata (misalnya pelayanan sosial, rohaniawan dan yayasan HIV AIDS Indonesia


Daftar Pustaka

Christine L. Mudge-Grout, 1992, Immunologic Disorders, Mosby Year Book, St. Louis.
Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I Made Kariasa dan Ni Made S, EGC, Jakarta
Mansjoer,A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculopius: Jakarta
Abednego, Hadi M, 1998. Kemitraan Dalam Pelaksanaan Strategi Nasional. Penanggulangan AIDS, Depkes RI, Jakarta,.
Admosuharto K, 1993. Epidemiologi AIDS dan Strategi Pemberantasan di Indonesia,  Media Litbangkes vol. III no. 4 Jakarta.
Departemen Kesehatan RI, 1989. AIDS Petunjuk untuk Petugas kesehatan, Jakarta.
Departemen kesehatan RI, 1992. Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta. Djamin, SPH, 1992. Perubahan Perilaku dan Ketahanan Keluarga sebagai Pilar Utama Pencegahan dan Pananggulangan AIDS, Media Litbangkes vol. VI no. 04 Jakarta.
Djauzi, S, Sihombing G, 1992. Pengumpulan Data dengan Diskusi Kelompok Terarah dan Wawancara Mendalam pada Kelompok Risiko Tinggi AIDS di Jakarta, Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia taun X, No. 7 Jakarta.
Gde Muninjaya, 1997. AIDS di Indonesia. Masalah dan Kebijakan Penanggulangannya. EGC. Jakarta.

Sumber http://macrofag.blogspot.com