Random post

Wednesday, July 25, 2018

√ Imbas Peradaban Awal Masyarakat Dunia Terhadap Peradaban Indonesia (1/2)

 Zaman praaksara meninggalkan hasil budaya yang masih sederhana √ Pengaruh Peradaban Awal Masyarakat Dunia terhadap Peradaban Indonesia (1/2)


Zaman praaksara meninggalkan hasil budaya yang masih sederhana, tetapi berharga nilainya dalam mempelajari kembali sejarah insan Indonesia di masa lampau. Alat-alat budaya mereka ciptakan sesuai kebutuhan sehingga sanggup membantu untuk memenuhi kebutuhannya. Alat-alat budaya tersebut pada awalnya terbuat dari watu dan berkembang memakai logam maka dalam penyebutannya sering disebut zaman watu atau zaman logam. Dengan peninggalan-peninggalan mereka itulah, para hebat sanggup mengungkap kembali bagaimana kehidupan di masa itu.

A. Proses Migrasi Ras Proto Melayu dan Deutro Melayu ke Indonesia

Sejarawan Belanda Van Heine menyampaikan bahwa semenjak 2000 SM yang bersamaan dengan zaman Neolitikum hingga dengan tahun 500 SM yang bersamaan dengan zaman perunggu mengalirlah gelombang perpindahan penduduk dari Asia ke pulau-pulau sebelah selatan daratan Asia ke Indonesia. Sekitar tahun 1500 SM, mereka terdesak dari Campa kemudian pindah ke Kampuchea dan melanjutkan perjalanan ke Semenanjung Malaka. Sementara itu, bangsa yang lainnya masuk ke pulau-pulau di sebelah selatan Asia tersebut, yakni Austronesia (austro artinya selatan, nesos artinya pulau). Bangsa yang mendiami tempat Austronesia disebut bangsa Austronesia. Bangsa Austronesia mendiami tempat sangat luas, mencakup pulau-pulau yang membentang dari Madagaskar (sebelah barat) hingga Pulau Paskah (sebelah timur) dan Taiwan (sebelah utara) hingga Selandia Baru (sebelah selatan).

Pendapat Van Heine Geldern ini diperkuat dengan inovasi peralatan insan purba berupa beliung watu yang berbentuk persegi di Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi di cuilan barat. Beliung mirip itu juga banyak ditemukan di Asia, yakni di Malaysia, Birma (Myanmar), Vietnam, Kampuchea, dan terutama di tempat Yunan (daerah Cina Selatan).

Perpindahan penduduk pada gelombang kedua terjadi sekitar 500 SM bersamaan dengan zaman perunggu. Perpindahan ini membawa kebudayaan perunggu, mirip kapak sepatu dan nekara atau genderang yang berasal dari tempat Dongson sehingga disebut kebudayaan Dongson. Pendukung kebudayaan Dongson ialah orang-orang Austronesia yang tinggal di pulau-pulau di Benua Asia dan Australia. Nenek moyang bangsa Indonesia meninggalkan tempat Yunan di sekitar hulu Sungai Salween dan Sungai Mekong yang tanahnya subur sehingga mereka berakal bercocok tanam, berlayar, dan berdagang.

Dalam perkembangan selanjutnya, banyak sekali suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia kemudian membentuk komunitas sendiri-sendiri sehingga mereka menerima sebutan tersendiri. Mereka tiba di Nusantara memakai alat transportasi, yaitu bahtera bercadik. Mereka berlayar secara berkelompok tanpa mengenal rasa takut dan selanjutnya menempati banyak sekali kepulauan di Nusantara. Hal ini memperjelas bahwa nenek moyang bangsa Indonesia ialah pelaut-pelaut ulung yang mempunyai jiwa kelautan yang kuat. Mereka mempunyai kepandaian dalam berlayar, navigasi, serta ilmu perbintangan yang penuh. Selain itu, mereka menemukan model bahtera bercadik yang merupakan bahtera besar lengan berkuasa dan bisa menghadapi gelombang serta sebagai ciri khas kapal bangsa Indonesia.

Orang-orang Austronesia yang memasuki wilayah Nusantara dan kemudian menetap di Nusantara tersebut menerima sebutan bangsa Melayu Austronesia atau bangsa Melayu Indonesia. Mereka yang masuk ke tempat Aceh menjadi suku Aceh, yang masuk ke tempat Kalimantan disebut suku Dayak, yang ke Jawa Barat disebut suku Sunda, yang masuk ke Sulawesi disebut suku Bugis dan Tanah Toraja, dan mereka yang masuk ke tempat Jambi disebut suku Kubu (Lubu).

Bangsa Melayu sanggup dibedakan menjadi dua, yakni bangsa Melayu Tua dan Melayu Muda:

Bangsa Melayu Tua (Proto Melayu)

Bangsa Melayu Tua ialah orang-orang Austronesia dari Asia (Yunan) yang pertama kali ke Nusantara pada sekitar 1500 SM. Mereka tiba ke Nusantara melalui dua jalan.
  • Jalan barat dari Yunan (Cina Selatan) melalui Selat Malaka (Malaysia) masuk ke Sumatra masuk ke Jawa. Mereka membawa alat berupa kapak persegi.
  • Jalan utara (timur) dari Yunan melalui Formosa (Taiwan) masuk ke Filipina kemudian ke Sulawesi kemudian masuk ke Irian. Mereka membawa alat kapak lonjong.
Bangsa Melayu Tua ini mempunyai kebudayaan watu alasannya ialah alat-alatnya terbuat dari watu yang sudah maju, yakni sudah dihaluskan, berbeda dengan insan purba yang alatnya masih garang dan sederhana. Hasil budaya mereka dikenal dengan kapak persegi yang banyak ditemukan di Indonesia, mirip Sumatra, Jawa, Bali, dan Kalimantan. Adapun kapak lonjong banyak dipakai mereka yang melalui jalan utara, yakni Sulawesi dan Irian. Menurut penelitian Von Heekern, di Kalumpang, Sulawesi Utara telah terjadi perpaduan antara tradisi kapak persegi dan kapak lonjong yang dibawa orang Austronesia yang tiba dari arah utara Indonesia melalui Formosa (Taiwan), Filipina, dan Sulawesi.

Bangsa Melayu Muda (Deutero Melayu)

Bangsa Melayu Muda yang disebut juga Deutero Melayu tiba dari tempat Yunan (Cina Selatan) sekitar 500 SM. Mereka masuk ke Nusantara melalui jalan barat saja. Bangsa Melayu Muda berhasil mendesak dan bercampur dengan bangsa Proto Melayu. Bangsa Deutero Melayu masuk melalui Teluk Tonkin (Yunan) ke Vietnam, kemudian ke Semenanjung Malaka, terus ke Sumatra, dan jadinya masuk ke Jawa.

Bangsa Deutero Melayu mempunyai kebudayaan yang lebih maju dibandingkan dengan Proto Melayu. Mereka sudah sanggup menciptakan barang-barang dari perunggu dan besi. Hasil budayanya yang populer ialah kapak corong, kapak sepatu, dan nekara. Selain kebudayaan logam, bangsa Deutero Melayu juga menyebarkan kebudayaan Megalitikum, yaitu kebudayaan yang menghasilkan bangunan yang terbuat dari watu besar. Hasil-hasil kebudayaan Megalitikum, misalnya, menhir (tugu batu), dolmen (meja batu), sarkofagus (keranda mayat), kubur batu, dan punden berundak. Suku bangsa Indonesia yang termasuk keturunan Melayu Muda (Deutero Melayu) ialah suku Jawa, Melayu, dan Bugis.

Sebelum kelompok bangsa Melayu memasuki Nusantara, bahwasanya telah ada kelompokkelompok insan yang lebih dahulu tinggal di wilayah tersebut. Mereka terma-suk bangsa primitif dengan budayanya yang masih sangat sederhana. Mereka yang termasuk bangsa primitif ialah sebagai berikut.
  • Manusia Pleistosin (purba)
    Kehidupan insan purba ini selalu berpindah tempat dengan kemampuan yang sangat terbatas. Demikian pula kebudayaannya sehingga corak kehidupan insan purba ini tidak sanggup diikuti kembali, kecuali beberapa aspek saja. Misalnya, teknologinya yang masih sangat sederhana (teknologi paleolitik).
  • Suku Wedoid
    Sisa-sisa suku Wedoid hingga kini masih ada, misalnya, suku Sakai di Siak serta suku Kubu di perbatasan Jambi dan Palembang. Mereka hidup dari meramu (mengumpulkan hasil hutan) dan berkebudayaan sederhana. Mereka juga sulit sekali mengikuti keadaan dengan masyarakat modern.
  • Suku Negroid
    Di Indonesia sudah tidak terdapat lagi sisa-sisa kehidupan suku Negroid. Akan tetapi, di pedalaman Malaysia dan Filipina keturunan suku Negroid masih ada. Suku yang termasuk ras Negroid, misalnya, suku Semang di Semenanjung Malaysia dan suku Negrito di Filipina. Mereka jadinya terdesak oleh orang-orang Melayu Modern sehingga hanya menempati tempat pedalaman terisolir.

Menurut Heine Geldern, nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari daratan Asia, yakni Yunan. Mereka tiba melalui dua gelombang dan dua jalan.
  • Gelombang Melayu Tua (Proto Melayu) 1500 SM melalui dua jalan. Jalan barat melalui Yunan – Malaka – Sumatra – Jawa, alat yang dibawa kapak persegi. Jalan Utara melewati Yunan – Formosa – Jepang – Filipina – Sulawesi Utara – Papua, alat yang dibawa kapak lonjong.
  • Melayu Muda (Deutero Melayu) 500 SM merupakan kedatangan gelombang II melalui jalan barat.

B. Pengaruh Perkembangan Budaya Bacson-Hoabinh, Dongson, dan India dengan Perkembangan Masyarakat Awal di Kepulauan Indonesia

Kebudayaan Bacson-Hoabinh

Di Pegunungan Bacson dan di Provinsi Hoabinh bersahabat Hanoi, Vietnam, oleh peneliti Madeleine Colani ditemukan sejumlah besar alat yang kemudian dikenal dengan kebudayaan Bacson-Hoabinh. Jenis alat serupa juga ditemukan di Thailand, Semenanjung Melayu, dan Sumatra. Peninggalan-peninggalan di Sumatra berupa bukit-bukit kerang yang dinamakan kjokkenmoddinger (sampah dapur) yang memanjang dari Sumatra Utara hingga Aceh.

Ciri dari kebudayaan Bacson-Hoabinh ialah penyerpihan pada satu atau dua sisi permukaan watu kali yang berukuran satu kepalan dan cuilan tepinya sangat tajam. Hasil penyerpihannya menyampaikan banyak sekali bentuk, mirip lonjong, segi empat, dan ada yang bentuknya berpinggang. Di wilayah Indonesia, alat-alat watu kebudayaan Bacson-Hoabinh ditemukan di Papua, Sumatra, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Penyebaran kebudayaan Bacson-Hoabinh bersamaan dengan perpindahan ras Papua Melanesoid ke Indonesia melalui jalan barat dan jalan timur (utara). Mereka tiba di Nusantara dengan bahtera bercadik dan tinggal di pantai timur Sumatra dan Jawa, namun mereka terdesak oleh ras Melayu yang tiba kemudian. Akhirnya, mereka menyingkir ke wilayah Indonesia Timur dan dikenal sebagai ras Papua yang pada masa itu sedang berlangsung budaya Mesolitikum sehingga pendukung budaya Mesolitikum ialah Papua Melanesoid. Ras Papua ini hidup dan tinggal di gua-gua (abris sous roche) dan meninggalkan bukit-bukit kerang atau sampah dapur (kjokkenmoddinger). Ras Papua Melanesoid hingga di Nusantara pada zaman Holosen. Saat itu keadaan bumi kita sudah layak dihuni sehingga menjadi tempat yang nyaman bagi kehidupan manusia.

Penyelidikan kjokkenmoddinger dilakukan oleh Dr. P.V. Van Stein Callenfels tahun 1925. Juga banyak ditemukan kapak genggam yang kemudian dinamakan kapak Sumatra, terbuat dari watu kali yang dibelah, sisi luarnya tidak dihaluskan, dan sisi dalamnya dikerjakan sesuai dengan keperluan. Jenis lain ialah kapak pendek (hache courte), bentuknya setengah lingkaran, cuilan tajamnya pada sisi lengkung. Ditemukan pula watu penggiling (pipisan) sebagai penggiling masakan atau cat merah, ujung mata panah, flakes, dan kapak Proto Neolitikum.

Ras Papua Melanesoid hidup masih setengah menetap, berburu, dan bercocok tanam sederhana. Mereka hidup di gua dan ada yang di bukit sampah. Manusia yang hidup di zaman budaya Mesolitikum sudah mengenal kesenian, mirip lukisan mirip babi hutan yang ditemukan di Gua Leang-Leang (Sulawesi). Lukisan tersebut memuat gambar hewan dan cap telapak tangan.

Mayat dikubur dalam gua atau bukit kerang dengan perilaku jongkok, beberapa cuilan mayit diolesi dengan cat merah. Merah ialah warna darah, tanda hidup. Mayat diolesi warna merah dengan maksud biar sanggup mengembalikan kehidupannya sehingga sanggup berdialog. Kecuali alat batu, juga ditemukan sisa-sisa tulang dan gigi-gigi hewan mirip gajah, badak, beruang, dan rusa. Jadi, selain mengumpulkan hewan kerang, mereka pun memburu binatang-binatang besar.

Di tempat Sumatra alat-alat watu jenis kebudayaan Bacson-Hoabinh ditemukan di Lhokseumawe dan Medan. Di Pulau Jawa, alat kebudayaan yang sejenis kebudayaan Bacson-Hoabinh ditemukan di tempat sekitar Bengawan Solo, yakni bersamaan waktu penggalian fosil insan purba. Peralatan yang ditemukan dibentuk dengan cara yang sederhana, belum diserpih dan belum diasah. Alat tersebut diperkirakan dipergunakan oleh jenis Pithecanthropus erectus di Trinil, Jawa Timur.

Kebudayaan Dongson

Kebudayaan Dongson diambil dari salah satu nama tempat di Tonkin. Kebudayaan perunggu di Asia Tenggara biasa dinamakan kebudayaan Dongson. Di tempat ini ditemukan majemuk alat yang dibentuk dari perunggu. Di samping itu juga ditemukan nekara dan kuburan. Bejana yang serupa dengan yang ditemukan di Kerinci dan Madura juga ditemukan di sana, di tempat Tonkin itulah kebudayaan perunggu berasal.

Pengolahan logam menyampaikan taraf kehidupan yang semakin maju, sudah ada pembagian kerja yang baik, masyarakatnya sudah teratur. Teknik peleburan logam merupakan teknik yang tinggi.

Kenyataan tersebut menyampaikan kepada kita mengenai adanya korelasi erat antara Indonesia dengan Tonkin, yaitu kebudayaan logam di Indonesia termasuk kelompok kebudayaan logam di Asia yang berpusat di Dongson. Dari tempat inilah tiba kebudayaan logam secara bergelombang lewat jalur barat, yaitu Malaysia. Pendukung kebudayaan ini ialah bangsa Austronesia, juga pendukung kapak persegi. Di Indonesia, penggunaan logam telah dilakukan semenjak beberapa era sebelum Masehi, yaitu pada tahun 500 SM berupa hasil perunggu dan embel-embel perunggu, sedangkan alat dari besi berupa mata kapak, mata pisau, mata pedang, dan cangkul. Zaman perunggu di Indonesia masuk kebudayaan perundagian. Peranan perunggu dan besi sangat besar terutama dalam penggunaan alat kehidupan.

Budaya Dongson sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan budaya perunggu di Nusantara. Nekara perunggu yang telah dibentuk di Kepulauan Indonesia mirip Sumatra, Jawa, dan Maluku Selatan sebagai salah satu bukti efek yang besar lengan berkuasa dari budaya Dongson. Beberapa nekara yang ditemukan di Indonesia mempunyai nilai yang penting, misalnya, di Makalaman bersahabat Sumba (berisi hiasan gambar ibarat pakaian Cina dari dinasti Han) dan nekara dari Kepulauan Kei, Maluku (berisi hiasan lajur mendatar bergambar kijang). Berdasarkan kesimpulan para ahli, ada kemungkinan daerah-daerah itu tidak membuatnya sendiri, melainkan berasal dari Cina lantaran ada gaya hiasan model negeri Cina. Adapun nekara yang ditemukan di tempat Sangeng bersahabat Sumbawa oleh Heine Geldern mungkin berasal dari Funan.

Perkembangan budaya logam di Indonesia sanggup diketahui dengan terperinci adanya efek budaya Dongson yang menyebar ke seluruh Nusantara. Ada beberapa tempat penting dalam perkembangan logam di Nusantara.
  • Budaya logam awal di Jawa
    Di Pulau Jawa terdapat peninggalan logam pada tahap awal, berada di dalam peti kubur watu (sarkofagus) di tempat Gunung Kidul, Yogyakarta. Diperkirakan sebagai bekal kubur yang berupa peralatan dari besi.
  • Budaya logam awal di Sumatra
    Di Pasemah, Sumatra Barat, terdapat kubur watu yang dibekali manik-manik beling dan sejumlah benda logam berupa tombak besi dan peniti emas.
  • Budaya logam awal di Sumba, Nusa Tenggara
    Di Sumba, Nusa Tenggara, terdapat tradisi pengu-buran dengan membawa bekal kubur yang berupa logam yang diletakkan di bersahabat peti si mati. Namun, di sana juga sudah ditemukan peralatan rumah tangga mirip baskom dan tembikar kecil yang terbuat dari logam.
  • Budaya logam awal di Bali
    Tidak berbeda dengan tempat lain, di Bali kita temukan benda logam sebagai bekal kubur. Jadi, sanggup kita ketahui bahwa budaya logam ternyata sudah berkembang di Nusantara. Banyak kita temukan bekal kubur terbuat dari logam, ini berarti mereka menghormati roh nenek moyangnya yang sudah mati dengan barang yang berharga. Namun, kita juga menemukan alat kehidupan yang terbuat dari logam di tengah masyarakat pada masa lalu, misalnya, pisau, tombak, panah, dan patung.

Kebudayaan India

Sejak zaman praaksara, penduduk Indonesia dikenal sebagai pelaut dan sanggup mengarungi lautan luas. Ahli ilmu bumi bangsa Yunani berjulukan Claudius Ptolomeus menyebutkan bahwa ada sebuah pulau berjulukan Zabadiu, yang dimaksud ialah Yavadwipa atau Pulau Jawa atau populer dengan sebutan Pulau Padi.

Menurut Hornell, perahu-perahu bercadik ialah milik khusus bangsa Indonesia. Perahu bercadik juga ada di India Selatan akhir efek dari Indonesia alasannya ialah di sana terdapat suku Thanar yang bermatapencaharian budi daya kelapa dan berdagang dengan pedagang Indonesia.
Hubungan dagang antara Indonesia – India ternyata menambah kemampuan untuk saling bertukar kebudayaan, efek agama dan budaya India masuk ke Nusantara. Hubungan dagang tersebut merupakan faktor utama terjadinya kontak Indonesia – India yang mengakibatkan penyebaran budaya India ke Indonesia. Namun demikian, unsur Indonesia kuno tetap besar lengan berkuasa tampak dominan, misalnya, kasta tidak berjalan dengan baik di Indonesia, bahkan cenderung tidak ada. Hasil seni candi di Indonesia yang menonjol pada masa Indonesia kuno ialah pembangunan candi-candi besar.

Bukti efek budaya India di Indonesia sebagai berikut.
  • Adanya arca Buddha dari perunggu di Sempaga (Sulawesi Selatan) sebagai bukti tertua bergaya amarawati (gaya India Selatan), arca sejenis juga ditemukan di Jember dan Bukit Siguntang, Sumatra Selatan. Arca Buddha lainnya yang ditemukan di Kota Bangun, Kutai, bergaya gandhara (gaya India Utara).
  • Ditemukan prasasti di Kerajaan Kutai dan Tarumanegara yang terpengaruh India, yaitu berbahasa Sanskerta dan berhuruf Pallawa.
  • Adanya bangunan candi dan arca yang terpengaruh Hindu dan Buddha.
  • Adanya prasasti Sriwijaya yang ditulis dalam bahasa Melayu Kuno berhuruf Pallawa yang sudah menonjol unsur Indonesianya.
  • Adanya bukti arkeologi di Indonesia bahwa efek India ada dalam budaya Nusantara.
  • Dalam banyak sekali hal efek India itu terlihat. Di bidang pemerintahan muncul kerajaan, dalam bidang kebudayaan efek India melahirkan candi megah di Nusantara, misalnya, candi Borobudur, Prambanan, di bidang sosial melahirkan ikatan-ikatan desa dan ikatan feodal.
Sumber : bse.kemdikbud.go.id

Pengaruh Peradaban Awal Masyarakat Dunia terhadap Peradaban Indonesia
MARKIJAR : MARi KIta belaJAR


Sumber http://www.markijar.com/