Akhir-akhir ini, Indonesia telah beberapa kali diguncangkan oleh bencana-bencana besar. Diawali dengan gempa bumi di lombok kemudian disusul dengan gempa bumi dan tsunami di Palu, Sulawesi. Bagaimanapun, ada banyak hal yang masuk ke dalam pikiranku, oleh lantaran itu inilah opiniku.
Kata Mbahku, tanah Jawa itu “Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja” yang maknanya secara keseluruhan ialah: Tanahnya subur dan memakmurkan, sehingga hidup masyarakatnya tertib dan hening tentram. Namun dibalik itu, belakang layar dari kesuburan tanah di pulau jawa berasal dari unsur hara yang dikeluarkan ketika aktifitas gunung vulkanik, dan itu sanggup jadi bencana.
Bencana Nasional
Negara Indonesia memang selain mempunyai kekayaan alam yang luar biasa melimpah, juga mempunyai banyak titik tragedi alam, baik itu berupa gunung meletus, gempa bumi, maupun tsunami.
Setelah tragedi gempa dan tsunami di Palu pada 28 September yang lalu, banyak sekali organisasi masyarakat telah bergerak mengumpulkan sumbangan baik itu berupa barang maupun dana.
Dana ini tidak hanya sanggup segera ditransaksikan untuk kebutuhan masakan darurat, tetapi nantinya akan sangat penting juga untuk membangun kembali sektor-sektor perekonomian dan transportasi yang lumpuh jawaban bencana.
Karena kerusakan yang terjadi sangat parah, bukan hanya menghancurkan bangunan tetapi sampai mengubur lebih dari satu kelurahan, maka pengumpulan sumbangan berupa dana akan sangat diperlukan.
Secara cepat masyarakat Indonesia dari seluruh pelosok negeri, bahkan pelosok dunia, mengumpulkan dana melalui banyak sekali organisasi. Aksi cepat tanggap ini luar biasa menarik perhatianku, alasannya kekuatan Indonesia sebagai sebuah negara dengan kualitas insan yang tinggal di dalamnya terlihat disini.
Bencana Rasional
Kalau sebelumnya konteksnya ialah tragedi alam, maka ada tragedi lainnya, Bencana Rasional. Nampaknya belakangan ini tragedi rasional juga sering menimpa Indonesia secara tiba-tiba. Viralnya aksi-aksi bodoh, dipenjarakannya guru yang berniat menegur siswa, kecelakaan-kecelakaan konyol yang seharusnya tidak terjadi dan tentu saja kampanye politik yang dangkal dan tidak ada ilmunya, kesemuanya itu tak lain ialah tragedi rasional.
Jika petaka memerlukan material untuk membangun kembali, tragedi rasional memerlukan pikiran segar yang sanggup mengembalikan logika. Maka selayaknya tragedi alam, sehabis sebuah tragedi rasional terjadi, orang-orang yang kaya ilmu, pegiat literasi dan pemikir berlomba-lomba membua goresan pena yang bertujuan mengembalikan nalar masyarakat.
Kemudian respons masyarakat juga menarik, mereka yang tidak pernah membaca di kesehariannya, jadi sangat aktif membaca tulisan-tulisan gres yang dirilis para pakar dunia maya. Bahkan dengan membaca dua tiga goresan pena mereka sudah siap mendebat seorang ahli.
Namun berbeda dengan tragedi alam, tragedi rasional ini sanggup dicegah dan dihentikan. Dan satu-satunya jalan ialah literasi yang serius dan berkelanjutan.
Jadi jika tanggung jawab orang-orang kaya raya untuk menyumbangkan uangnya disaat terjadinya tragedi alam, maka ialah tanggung jawab orang-orang yang kaya illmu untuk menyumbangkan pikirannya dalam mencegah tragedi rasional.
Menulis dan menanggapi sebuah tragedi rasional ialah penting, namun hal yang lebih penting dan fundamental ialah melanjutkan literasi itu sampai sanggup mencegah terjadinya tragedi rasional.
Oleh lantaran itu selayaknya siapapun yang mempunyai ilmu, hendak menyumbangkannya baik itu dalam bentuk karya maupun tulisan. Baik itu untuk masyarakat sekitarnya maupun di dunia maya yang luas.
Apalagi mengingat ilmu itu semakin dibagikan dan disebarkan, ia bertambah banyak. Semakin ilmu itu diserap oleh orang banyak, semakin berguru itu menyenangkan.
Sumber https://mystupidtheory.com